KULTUS JOKOWI: Ketika Kader PSI Terlalu Jatuh Cinta Sampai Lupa Akal

- Senin, 14 Juli 2025 | 14:25 WIB
KULTUS JOKOWI: Ketika Kader PSI Terlalu Jatuh Cinta Sampai Lupa Akal


KULTUS JOKOWI: 'Ketika Kader PSI Terlalu Jatuh Cinta Sampai Lupa Akal'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ada kalimat dari Antonio Gramsci yang bisa jadi cocok untuk membuka perbincangan ini: “Krisis muncul ketika yang lama telah mati dan yang baru belum lahir. Dalam masa jeda itu, muncul gejala-gejala yang ganjil.” 


Salah satu gejala ganjil itu kini tampak dalam pernyataan kader-kader PSI


Mereka bukan hanya menjilat kekuasaan, tapi meneguknya sampai tetes terakhir, bahkan menyamakannya dengan wahyu langit.


Beberapa waktu lalu, Grace Natalie, elite PSI, menyatakan bahwa ideologi partainya adalah Jokowi


Bukan nasionalisme, bukan kerakyatan, bukan sosialisme-demokratis


Tapi Jokowi—nama seorang manusia fana dijadikan ideologi, sesuatu yang dalam kamus politik masuk ke dalam kategori pemujaan. 


Lalu muncul nama Dadi Nur, kader muda PSI yang lebih radikal lagi menyatakan bahwa Jokowi seperti Nabi. Ya, Nabi. Titik.


Kita sedang berhadapan dengan dua hal yang sangat serius: pertama, kedangkalan literasi politik; kedua, pendangkalan makna kepemimpinan.


Grace Natalie mungkin lupa (atau pura-pura lupa) bahwa ideologi bukan sekadar nama orang. 


Ia adalah sistem nilai, bangunan gagasan, dan arah perjuangan yang menyeluruh. 


Menyebut “Jokowi” sebagai ideologi tanpa menjelaskan aspek-aspek apa dari Jokowi yang dimaksud, sama halnya dengan menyebut “kopi” sebagai agama hanya karena menyenangkan.


Lebih berbahaya lagi, menjadikan nama manusia sebagai ideologi adalah bentuk awal dari totalitarianisme lunak


Kita belajar itu dari sejarah: dari Mao, Stalin, hingga Kim Jong Un—semuanya berawal dari kultus personal.


Sementara itu, Dadi Nur, dalam semangat yang mungkin tulus tapi sangat ngawur, telah menyejajarkan Jokowi dengan para nabi. 


Sebuah lompatan teologis yang bahkan mungkin membuat para penyembah berhala di zaman jahiliyah mengernyitkan dahi. 


Membandingkan manusia dengan nabi, apalagi seorang presiden yang rekam jejaknya penuh kontradiksi dan kontroversi, adalah bentuk penistaan epistemik. 


Kita jadi bertanya: apakah ini cinta, atau justru bentuk hinaan yang terselubung?

Halaman:

Komentar