Kerusuhan yang mengguncang Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dinilai bukan sekadar amarah sesaat akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pengamat menilai ini adalah ledakan 'bom waktu' dari serangkaian masalah yang sudah menumpuk lama.
Ekonom Politik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, membeberkan ada tiga biang kerok utama; anggaran daerah yang dipangkas, bupati yang arogan, dan sejarah perlawanan rakyat Pati yang tak bisa diremehkan.
Media Wahyudi Askar secara blak-blakan menyebut bahwa kenaikan PBB hingga 250 persen hanyalah puncak gunung es. Menurutnya, akar masalahnya jauh lebih dalam, salah satunya adalah kondisi keuangan daerah yang sedang krisis.
"Pati itu dipangkas Rp59 miliar akibat efisiensi anggaran," ujar Media dalam diskusi virtual, Kamis (14/8/2025).
Kondisi kantong kering ini, menurutnya, diperparah oleh sikap sang bupati yang dinilai tidak kompeten dan arogan dalam menghadapi krisis.
"Dan karena gak ada duit, plus bupatinya inkompeten, arogan, nantangin rakyatnya. Ya sudah akhirnya heboh," ujarnya.
Rakyat Pati Punya DNA Perlawanan
Faktor kedua yang sering dilupakan, menurut Media, adalah karakter masyarakat Pati itu sendiri. Ia mengingatkan bahwa warga Pati memiliki rekam jejak perlawanan sipil yang sangat kuat, bukan tipe masyarakat yang pasif menerima kebijakan dari atas.
Contoh paling nyata adalah perlawanan sengit mereka saat menolak pembangunan pabrik Semen Gresik beberapa tahun lalu. DNA perlawanan inilah yang kembali bangkit saat mereka merasa kebijakan PBB mencekik leher.
Di balik kerusuhan yang terjadi, Media melihat ada satu sisi positif yang sangat signifikan. Insiden Pati telah memecahkan anggapan lama bahwa isu pajak adalah urusan elite yang rumit dan tidak dipahami rakyat biasa.
"Sekarang isu pajak itu menjadi isu yang sangat-sangat umum, wajar dibicarakan. Dan masyarakat mulai sadar bahwa pajak itu berdampak pada kehidupan mereka. Ini baru terjadi hari ini," kata Media.
Ia berharap, kesadaran baru ini akan menjadi titik balik bagi partisipasi publik di seluruh Indonesia. Menurutnya, selama ini ruang manipulasi kebijakan pajak terbuka lebar karena masyarakat belum melek.
"Saya berharap ini kemudian bisa menyadarkan banyak orang bahwa kalau kita tidak perjuangkan, kalau masyarakat tidak literate tentang pajak, maka kita akan dibohongin terus oleh negara," pungkasnya.
Sumber: suara
Foto: Ribuan warga di depan pendopo Kabupaten Pati menuntut Bupati Pati Sudewo mengundurkan diri dari jabatannya, di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). [Antara/Akhmad Nazaruddin Lathif]
Artikel Terkait
Alasan Kejagung 6 Tahun Belum Eksekusi Silfester Matutina: Sempat Hilang, Keburu Covid
Nusron Wahid Sengaja Bikin Polemik untuk Perkuat Maju sebagai Ketum PBNU
Pati Memanggil Keadilan: Drama Pemakzulan Bupati Sudewo
Pitra Romadoni Nasution: Provokator Penganiaya Polisi di Pati Harus Diproses Hukum