Gibran dan Politik Absurditas: 'Ketika Tahu Bulat Dipaksa Menjadi Steak Wagyu'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Politik Indonesia kadang terasa seperti warung kopi pinggir jalan.
Menu yang tersaji seadanya, tapi dipromosikan seolah-olah bintang lima.
Contohnya, ketika Gibran Rakabuming Raka disandingkan dengan tokoh lain—sebut saja AHY, atau para menteri yang sudah kenyang makan asam garam birokrasi—rakyat otomatis akan membandingkan.
Dan, percayalah, perbandingannya sama sekali tidak adil… untuk Gibran.
AHY, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, minimal punya jam terbang: sekolah militer, kuliah ke luar negeri, paham bahasa Inggris, setidaknya bisa mengutip teori politik tanpa harus googling dulu.
Kalau disandingkan dengan Gibran, itu seperti menaruh kalkulator scientific Casio di samping kalkulator mainan anak TK yang cuma bisa bunyi “ting-ting” kalau dipencet.
Atau coba dengan menteri-menteri: ada yang bisa menjelaskan soal ekonomi global sambil menggambar grafik di papan tulis, ada yang bisa ngomong soal hubungan internasional tanpa harus membaca contekan.
Gibran? Tanyanya apa saja, jawabannya bisa berputar-putar kayak kipas angin rusak. Inflasi? “Nanti kita bahas.” Energi terbarukan? “Ya, kita lihat saja.”
Saking minimnya wawasan, kadang saya curiga beliau ini lebih paham resep seblak ketimbang konsep geopolitik Asia Tenggara.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur