Tapi toh, Gibran tetap menang. Kok bisa? Nah, di sinilah letak absurdnya politik kita. Di negeri ini, siapa pintar kalah oleh siapa yang punya stempel.
Siapa berprestasi kalah oleh siapa yang punya backing. Sama seperti lomba menyanyi, tapi juri lebih sibuk menilai merek sepatu peserta daripada suaranya.
Politik kita memang sudah masuk era tahu bulat. Digoreng dadakan, lima ratusan, hasilnya?
Gembung tapi isinya angin. Gibran bukan produk seleksi kualitas, melainkan produk paksaan politik.
Ia tidak mungkin menang kalau rakyat diberi kebebasan penuh untuk membandingkan dengan tokoh-tokoh lain.
Tapi karena sistem sudah diatur sedemikian rupa, ia tiba-tiba nongol di kursi puncak.
Dan di sinilah bangsa ini dirugikan. Kita kehilangan logika sehat, kehilangan standar kepemimpinan.
Seolah-olah rakyat hanya diminta tepuk tangan, meski yang naik panggung bukan penyanyi, melainkan tukang sound system yang tiba-tiba disuruh nyanyi.
Politik buram macam ini bukan hanya bikin rakyat bingung, tapi juga berbahaya.
Sebab ketika tahu bulat dipaksa jadi steak wagyu, yang kenyang bukan rakyat—melainkan para pemain di dapur politik itu sendiri. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur