OLEH: AGUNG NUGROHO*
KEGIATAN operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa dibaca hanya sebagai kasus hukum.
OTT Noel menyentuh sesuatu yang lebih dalam: luka moral reformasi. Aktivis 1998 yang dahulu berdiri di garis depan melawan rezim otoritarian kini justru terseret dugaan gratifikasi.
Ironi ini memperlihatkan bahwa reformasi tidak hanya meninggalkan warisan kebebasan politik, tetapi juga jebakan baru di dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.
Dalam permainan catur, ada jebakan klasik yang dikenal sebagai jebakan Rubinstein dalam pembukaan Gambit Ratu. Pada posisi tertentu, putih sengaja “mengorbankan” pion untuk memancing hitam. Lawan yang tergoda mengambil pion itu merasa mendapatkan keuntungan.
Namun langkah itu justru membuka ruang serangan balik: hitam kehilangan keseimbangan, bahkan bisa kehilangan partai. Intinya, apa yang tampak sebagai keuntungan instan justru adalah awal kehancuran.
Politik pasca reformasi bekerja dengan logika yang mirip. Banyak aktivis yang dulu mengusung moralitas perlawanan akhirnya masuk ke dalam lingkar kekuasaan.
Di sana, “pion-pion gratis” tampak bertebaran: jabatan strategis, akses ekonomi, dan kedekatan dengan elite. Godaan ini seolah memberi keuntungan, tetapi sebenarnya menyimpan perangkap. Begitu tergoda, jebakan struktural kekuasaan bekerja: mereka rentan terhadap kooptasi, korupsi, hingga kriminalisasi.
Dalam teori gerakan sosial, kondisi ini dikenal sebagai kooptasi. Negara atau rezim yang berkuasa sering menarik aktivis masuk ke dalam struktur, bukan untuk memperkuat agenda perubahan, tetapi untuk melemahkan basis moral dan politik mereka.
Aktivis yang dulu bersuara kritis berubah menjadi bagian dari sistem yang pernah mereka lawan. Mereka tampak mendapat posisi, tetapi sesungguhnya kehilangan otonomi. Sama seperti bidak hitam dalam jebakan Rubinstein: tergoda mengambil pion, tetapi justru kehilangan kendali permainan.
Kasus Noel menggambarkan dengan gamblang bagaimana jebakan itu bekerja. Posisi Wamenaker membuatnya seakan berada di papan yang lebih tinggi, dengan akses dan legitimasi politik.
Namun, dugaan gratifikasi yang menyeretnya adalah langkah salah yang membuat seluruh reputasi runtuh. Reformasi, yang dulu melahirkan harapan moral baru, kini harus menanggung luka ketika salah satu anak kandungnya justru terperangkap dalam logika lama kekuasaan.
Namun, tidak semua aktivis yang masuk ke dalam kekuasaan harus berakhir dengan kehilangan otonomi. Ada cara untuk menghindari jebakan Rubinstein politik ini.
Pertama, menjaga akar gerakan sosial: aktivis yang masuk struktur harus tetap terhubung dengan basis masyarakat sipil yang dulu mereka bela, bukan sekadar melebur ke dalam birokrasi.
Kedua, membawa agenda jelas: jabatan bukan sekadar posisi, tetapi sarana untuk memperjuangkan program yang konkret bagi rakyat. Tanpa agenda, jabatan hanya jadi pion kosong.
Ketiga, membangun mekanisme akuntabilitas personal, baik melalui transparansi publik maupun kritik internal dari gerakan yang tetap hidup di luar kekuasaan.
Jika tiga hal ini dijaga, aktivis tidak perlu kehilangan otonomi. Mereka bisa tetap menjadi bagian dari kekuasaan tanpa larut dalam arusnya.
Sama seperti dalam catur, kekuatan sejati bukanlah tergoda pion instan, melainkan kemampuan membaca jebakan dan memilih langkah yang lebih strategis.
Reformasi hanya akan menemukan artinya kembali jika para aktivis yang masuk ke struktur negara bisa membuktikan bahwa kekuasaan bukan jebakan, tetapi ruang baru untuk memperjuangkan cita-cita perubahan.rmol.id
*Penulis adalah Direktur Jakarta KEGIATAN operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa dibaca hanya sebagai kasus hukum.
OTT Noel menyentuh sesuatu yang lebih dalam: luka moral reformasi. Aktivis 1998 yang dahulu berdiri di garis depan melawan rezim otoritarian kini justru terseret dugaan gratifikasi.
Ironi ini memperlihatkan bahwa reformasi tidak hanya meninggalkan warisan kebebasan politik, tetapi juga jebakan baru di dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.
Dalam permainan catur, ada jebakan klasik yang dikenal sebagai jebakan Rubinstein dalam pembukaan Gambit Ratu. Pada posisi tertentu, putih sengaja “mengorbankan” pion untuk memancing hitam. Lawan yang tergoda mengambil pion itu merasa mendapatkan keuntungan.
Namun langkah itu justru membuka ruang serangan balik: hitam kehilangan keseimbangan, bahkan bisa kehilangan partai. Intinya, apa yang tampak sebagai keuntungan instan justru adalah awal kehancuran.
Politik pasca reformasi bekerja dengan logika yang mirip. Banyak aktivis yang dulu mengusung moralitas perlawanan akhirnya masuk ke dalam lingkar kekuasaan.
Di sana, “pion-pion gratis” tampak bertebaran: jabatan strategis, akses ekonomi, dan kedekatan dengan elite. Godaan ini seolah memberi keuntungan, tetapi sebenarnya menyimpan perangkap. Begitu tergoda, jebakan struktural kekuasaan bekerja: mereka rentan terhadap kooptasi, korupsi, hingga kriminalisasi.
Dalam teori gerakan sosial, kondisi ini dikenal sebagai kooptasi. Negara atau rezim yang berkuasa sering menarik aktivis masuk ke dalam struktur, bukan untuk memperkuat agenda perubahan, tetapi untuk melemahkan basis moral dan politik mereka.
Aktivis yang dulu bersuara kritis berubah menjadi bagian dari sistem yang pernah mereka lawan. Mereka tampak mendapat posisi, tetapi sesungguhnya kehilangan otonomi. Sama seperti bidak hitam dalam jebakan Rubinstein: tergoda mengambil pion, tetapi justru kehilangan kendali permainan.
Kasus Noel menggambarkan dengan gamblang bagaimana jebakan itu bekerja. Posisi Wamenaker membuatnya seakan berada di papan yang lebih tinggi, dengan akses dan legitimasi politik.
Namun, dugaan gratifikasi yang menyeretnya adalah langkah salah yang membuat seluruh reputasi runtuh. Reformasi, yang dulu melahirkan harapan moral baru, kini harus menanggung luka ketika salah satu anak kandungnya justru terperangkap dalam logika lama kekuasaan.
Namun, tidak semua aktivis yang masuk ke dalam kekuasaan harus berakhir dengan kehilangan otonomi. Ada cara untuk menghindari jebakan Rubinstein politik ini.
Pertama, menjaga akar gerakan sosial: aktivis yang masuk struktur harus tetap terhubung dengan basis masyarakat sipil yang dulu mereka bela, bukan sekadar melebur ke dalam birokrasi.
Kedua, membawa agenda jelas: jabatan bukan sekadar posisi, tetapi sarana untuk memperjuangkan program yang konkret bagi rakyat. Tanpa agenda, jabatan hanya jadi pion kosong.
Ketiga, membangun mekanisme akuntabilitas personal, baik melalui transparansi publik maupun kritik internal dari gerakan yang tetap hidup di luar kekuasaan.
Jika tiga hal ini dijaga, aktivis tidak perlu kehilangan otonomi. Mereka bisa tetap menjadi bagian dari kekuasaan tanpa larut dalam arusnya.
Sama seperti dalam catur, kekuatan sejati bukanlah tergoda pion instan, melainkan kemampuan membaca jebakan dan memilih langkah yang lebih strategis.
Reformasi hanya akan menemukan artinya kembali jika para aktivis yang masuk ke struktur negara bisa membuktikan bahwa kekuasaan bukan jebakan, tetapi ruang baru untuk memperjuangkan cita-cita perubahan.
*Penulis adalah Direktur Jakarta Institut
*) Ide tulisan terpercik dari status Hendrajit
Artikel Terkait
Gibran tanggapi isu ekspresi datarnya saat Sidang Paripurna: Muka saya dari lahir emang begini
Kagetnya Hotel Syariah di Mataram, Putar Murotal Ditagih Royalti Rp 4,4 Juta
Deddy Sitorus Meradang Videonya Dipotong DPR Tidak Setara dengan Rakyat: Kabarnya Rp 8 Miliar Buat Buzzer
Husein Mutahar Sosok Penyelamat Bendera Pusaka: Namanya Terlupakan dan Izin Makamnya Terabaikan