VIRAL di Medsos! Pernyataan Rakyat Jelata Deddy Sitorus Tuai Sorotan

- Selasa, 26 Agustus 2025 | 16:55 WIB
VIRAL di Medsos! Pernyataan Rakyat Jelata Deddy Sitorus Tuai Sorotan




POLHUKAM.ID - Nama anggota DPR Komisi VI, Deddy Sitorus, mendadak jadi perbincangan hangat di jagat maya.


Potongan videonya di acara Kontroversi Metro TV yang tayang pada Desember 2024 kembali viral di TikTok dan X pada Kamis, 21 Agustus 2025.


Dalam tayangan itu, Deddy menyebut perbandingan anggota DPR dengan rakyat biasa yang ia sebut sebagai “rakyat jelata” adalah bentuk sesat logika.


Ucapan tersebut sontak mengundang reaksi keras dari publik yang menilai kalimat itu merendahkan buruh, tukang becak, hingga masyarakat kelas bawah.


Sorotan warganet tak hanya soal gaya bicara, tapi juga pada jarak emosional yang seolah ditunjukkan oleh seorang wakil rakyat kepada konstituennya.


Bagi banyak orang, pernyataan ini semakin memperlebar jurang kepercayaan antara rakyat dengan para pejabat di Senayan.


Kontroversi Berawal dari Pertanyaan Tapera


Awalnya, host acara, Zilvia Iskandar, menyinggung perbedaan mencolok antara hak DPR yang mendapat fasilitas rumah dinas dengan nasib masyarakat yang harus menanggung iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).


Pertanyaan itu ditujukan untuk menggali pandangan Deddy soal potensi ketidakadilan dalam kebijakan tersebut.


Namun, alih-alih memberi penjelasan, ia justru menolak perbandingan itu secara tegas.


“Ya, jadi ketika DPR dibandingkan dengan rakyat jelata, yang katakan tukang becak atau buruh, di situ Anda mengalami sesat logika,” ujar Deddy dalam cuplikan video tersebut.


Pilihan Kata “Rakyat Jelata” Jadi Pemicu Reaksi


Istilah “rakyat jelata” inilah yang kemudian meledak di ruang publik digital.


Banyak yang menilai diksi tersebut justru menegaskan adanya kesenjangan antara pejabat dengan rakyat kecil.


“Seharusnya seorang wakil rakyat tidak melabeli masyarakatnya dengan istilah yang merendahkan. Justru DPR ada karena rakyat,” tulis salah satu pengguna TikTok.


Di sisi lain, ada pula netizen yang mencoba menilai ucapan itu dari konteks logika debat, meski tetap mengkritik pilihan katanya.


“Kalau soal logika mungkin ada benarnya, tapi kalimatnya kasar dan menyinggung,” komentar pengguna X.


Respon Publik dan Potensi Dampak Politik


Gelombang kritik ini menambah daftar panjang pernyataan pejabat yang menuai kontroversi di media sosial.


Dalam politik modern, persepsi publik sering kali lebih berpengaruh daripada isi argumen yang sebenarnya.


Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, yang dimintai tanggapan secara terpisah, bahasa pejabat publik harus lebih hati-hati.


“Kata-kata seperti ini mudah menjadi bumerang. Apalagi di era digital, cuplikan singkat bisa membentuk persepsi luas tanpa konteks penuh,” ujarnya.


Tak sedikit warganet yang bahkan mendesak agar DPR mengevaluasi etika komunikasi para anggotanya.


Sebagian lainnya menganggap polemik ini bukti bahwa jarak antara aspirasi rakyat dan sikap pejabat semakin nyata.


Kasus Deddy Sitorus memperlihatkan betapa cepatnya persepsi publik terbentuk di era media sosial.


Satu kalimat bisa memunculkan badai kritik, sekaligus membuka kembali perdebatan tentang hubungan wakil rakyat dengan konstituennya.


Apakah ini hanya sekadar salah ucap atau gambaran nyata pola pikir sebagian elite politik, publik tentu punya tafsir masing-masing.


Namun yang jelas, bahasa yang digunakan wakil rakyat akan selalu menjadi sorotan, karena mereka tidak hanya mewakili dirinya, tapi juga suara orang banyak.


Bagi masyarakat, pernyataan “rakyat jelata” ini menambah catatan panjang bahwa komunikasi politik tidak boleh sembarangan.


Sebab, kata-kata bisa jadi jembatan, tapi juga bisa jadi jurang.


👇👇



Sumber: HukamaNews

Komentar