Makan Bergizi Gratis (MBG): Solusi Gizi atau Paradoks Pemberdayaan?
Pemerintah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak setiap hari di sekolah. Inisiatif ini muncul di tengah tingginya angka stunting dan ketimpangan ekonomi, sebuah niat baik yang patut diapresiasi.
Namun, di balik niat baik ini, tersembunyi realitas kompleks yang paradoksal. Program yang diklaim "berpihak pada rakyat" ini justru berpotensi memposisikan rakyat hanya sebagai penerima pasif, konsumen, dan penonton, bukan sebagai pelaku utama.
Vendor Besar vs Kedaulatan Pangan Lokal
Pertanyaan kritis muncul: Siapa pemasok bahan pangan untuk program MBG? Dalam banyak kasus, jawabannya bukan koperasi petani, pasar lokal, atau dapur komunitas, melainkan vendor besar pemenang tender.
Sayur dan beras seringkali datang dari luar daerah, bahkan dari korporasi yang tidak berakar di komunitas penerima. Ironisnya, petani lokal—ujung tombak kedaulatan pangan—justru menjadi penonton. Mereka tidak terlibat dalam menanam untuk program ini, tidak memiliki akses pasar, dan tidak punya suara dalam menentukan standar pangan "bergizi".
Mekanisme Pemberian yang Melemahkan
Sistem ini memperlihatkan wajah lain negara kesejahteraan: negara yang memberi sekaligus menguasai. Rakyat menjadi jinak bukan karena paksaan, tetapi karena rasa terima kasih telah "diperhatikan". Mereka bersyukur, dan tanpa sadar, berhenti bertanya. Di balik setiap paket nasi bergizi, struktur ekonomi yang timpang dan relasi kuasa yang tidak setara bisa saja terus berlangsung.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur