Indonesia Gelap: Lebih Parah dari Duterte, Jokowi Harus Segera Ditangkap!

- Senin, 17 Maret 2025 | 12:35 WIB
Indonesia Gelap: Lebih Parah dari Duterte, Jokowi Harus Segera Ditangkap!

Di sinilah masalahnya. Duterte dan pendukungnya justru mempermasalahkan legalitas penangkapan itu. 


Kata mereka, Filipina bukanlah wilayah yurisdiksi ICC karena Filipina sudah keluar dari keanggotaan ICC ketika Duterte masih menjabat sebagai presiden.


Pelajaran apa yang bisa dipetik dari drama di Manila ini? Yaitu aliansi politik tanpa kesamaan ideologi yang kuat sangat rentan pecah di tengah jalan. 


Dua dinasti politik Filipina itu tidak punya kesamaan mendasar yang bisa menjadi basis perjuangan. 


Aliansi mereka pada Pemilu 2022 murni pragmatis untuk mengalahkan pasangan Leni Robredo-Francis Pangilinan dan pasangan Manny Pacquiao-Tito Sotto.


Hal yang sama bisa terjadi bila kita secara seksama mencermati politik di tanah air. Aliansi Prabowo-Jokowi murni untuk mengamankan suara pada Pemilu 2024. 


Prabowo bersedia menurunkan standar nilai yang dipegang selama ini dengan menerima Gibran “Fufufafa” anak haram konstitusi sebagai wakilnya dan terpaksa harus bekerja sama dengan Jokowi yang telah dua kali mencuranginya.


Di pihak Jokowi, dia membutuhkan Prabowo setelah PDIP tidak bisa dia jinakkan. Jokowi memerlukan pelindung setelah tidak lagi jadi presiden karena dia paham betul penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati telah menanti. 


Jokowi dengan sadar melakukan pelanggaran konstitusi, menipu publik, melakukan korupsi, melakukan pembunuhan brutal, dan memenjarakan lawan politik selama 10 tahun berkuasa secara zalim.


Sama sekali tidak ada ideologi atau nilai dasar yang bisa jadi perekat aliansi Prabowo-Jokowi. Kalaupun ada, pastilah komitmen kezaliman yang telah dilakukan Jokowi yang akan dilanjutkan Prabowo karena telah dibantu dalam pemenangan Pemilu. 


Semacam kontrak tidak tertulis untuk menabalkan pameo “partner in crime”—tapi kali ini dengan makna harfiah.


Goyahnya aliansi politik menjadi hal yang biasa dan terjadi di mana pun di seluruh dunia. Bila PDIP dengan Jokowi bisa pecah kongsi, aliansi Sara Duterte-Bongbong Marcos akhirnya bubar, maka apa jaminannya Prabowo-Jokowi akan terus bersatu? 


Apa lagi persatuan mereka murni digerakkan oleh pragmatisme politik—atau lebih tepatnya anarkisme politik—maka bubarnya persekutuan mereka hanya tinggal menunggu pemicu kecil saja.


Realitas politik sekarang menunjukkan rakyat mendesak Prabowo menangkap Jokowi penjahat kemanusiaan yang telah membawa Indonesia menuju kegelapan. 


Tuntutan ini semakin hari semakin kuat karena rakyat sudah sadar bahwa kerusakan yang ditimbulkan Jokowi sama sekali tidak bisa dimaafkan.


Batu uji Prabowo terletak pada kasus ini, apakah dia akan mendengar suara hati nurani rakyat yang sedang mencari keadilan atau justru memihak kezaliman besar yang telah dilakukan oleh Jokowi. 


Bila Prabowo salah dalam mendiagnosa masalah, maka kekuasaannya rentan untuk digoyang. Tuntutan mundur menggema dari banyak kota bila Prabowo terus melindungi Jokowi.


Dari Yogya kencang sekali tuntutan agar Prabowo-Gibran mundur oleh karena meluasnya kekecewaan terhadap situasi yang semakin memburuk hampir di semua bidang. 


Suara kekecewaan ini akan semakin dalam bila Prabowo menunjukkan gestur politik yang terus kelihatan ramah dan mesra dengan Jokowi.


Tuntutan ini bukan tanpa dasar. Dosa dan kejahatan Jokowi sangatlah besar, bahkan lebih besar daripada “dosa” Duterte—seandainya kebijakan menumpas gerbong narkoba itu bisa dikategorikan sebagai dosa. 


Sementara “dosa” Duterte hanya terfokus pada kebijakan dia dalam menangani gembong narkoba, kezaliman Jokowi sangatlah lengkap.


Jokowi melakukan pembunuhan dan penangkapan lawan politik tak bersalah, dia dan keluarganya melakukan korupsi yang sudah dilaporkan ke KPK, secara sengaja melanggar konstitusi, melakukan kebohongan publik, melakukan kampanye anti Islam secara masif, melakukan kriminalisasi, memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa, menggunakan buzzer bayaran untuk secara kotor membohongi, melakukan fitnah, dan membolak-balikkan fakta, dan banyak lagi.


Karena hal inilah maka opini publik sekarang berkembang bahwa bila Duterte yang kesalahannya terbatas dan masih diperdebatkan saja bisa ditangkap Interpol atas perintah dari ICC, maka mestinya Jokowi yang telah melakukan kejahatan begitu besar seharusnya langsung bisa ditangkap untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Tuntutan ini tidak berlebihan dan mengada-ada.


Tapi itu terpulang kembali ke Prabowo, apakah dia punya kehendak politik untuk menegakkan keadilan bagi rakyat dan negerinya. 


Di Filipina, kehendak politik dan gerak cepat Presiden Bongbong Marcos-lah yang menjadi kunci mengapa Duterte dengan gampang diekstradisi ke Belanda untuk menghadapi tuntutan ICC di Den Haag.


Prabowo kini harus melewati dilema yang sama sekali tidak rumit: apakah dia akan mengorbankan 270 juta rakyat demi seorang Jokowi? Menggunakan penalaran mana pun, maka Prabowo akan segera menangkap Jokowi bila dia betul-betul berjuang untuk bangsa dan negaranya. ***

Halaman:

Komentar

Terpopuler