Sang putra mahkota yang lebih sering diam itu, sejatinya hanya menonton langkah ayahnya mengatur panggung demi panggung politik.
Lantas bagaimana menjadikan “Tangkap Jokowi” bukan sekadar slogan sarkastik di poster demonstran?
Strategi yang ditawarkan adalah menanam satu pohon besar: keyakinan. Yakinkan para tokoh dari pelbagai basis dan kelompok masyarakat sipil untuk berani bersikap.
Bukan sekadar lewat pernyataan media, tapi dengan sikap aktif—konkret dan konsisten—memberi dukungan pada barisan aktivis yang sedang bergerak di lapangan.
Dengan itu, keyakinan itu akan bermetamorfosis menjadi sungai besar: arus perubahan.
Kita perlu sinergi yang tak lagi parsial. Civic movement harus bertemu dengan political will untuk mengunci satu agenda besar: hukum harus menjemput Jokowi.
Presiden Prabowo, jika memang ia berniat berada di jalur konstitusi, harus melihat sinyal rakyat ini sebagai mandat moral.
Di sinilah kredibilitas sistem diuji. Penegakan hukum yang adil dan tak pandang bulu—termasuk untuk mantan Presiden sekalipun—harus berdiri di atas rule of law, bukan rule of man.
Maka dukungan kepada presiden aktif agar tetap berada di jalur konstitusi juga menjadi penting, tapi dengan satu syarat mutlak: adili Jokowi, dan tolak politik dinasti.
Jika tidak, maka Indonesia hanya akan terus berputar dalam orbit feodalisme modern: rezim boleh berganti, tetapi pola korup dan manipulatif tetap lestari.
Dan itulah kekalahan paling tragis: ketika rakyat kehilangan imajinasi untuk berjuang, dan kekuasaan bebas menjajah atas nama stabilitas dan pembangunan fiktif.
***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur