Ketika desa dihidupkan, kota ditata ulang, dan orientasi politik tak lagi pada proyek mercusuar bernama Nusantara.
Langkah Ketiga: Menyelami jaringan lawas, memetakan loyalitas
Pembersihan bukan berarti pemecatan massal. Prabowo dan timnya tahu bahwa sistem terlalu kompleks untuk dibongkar secara frontal.
Maka yang dilakukan adalah menyelam ke dalam struktur, memetakan siapa yang sungguh setia, siapa yang menunggu momentum untuk berpaling, dan siapa yang masih menjalankan agenda Jokowi.
Loyalis seperti Luhut, Sri Mulyani, dan Mahfud mungkin masih dianggap aset.
Tapi bila mereka terlalu erat dengan agenda masa lalu, besar kemungkinan mereka akan “dinaikkan ke rak paling tinggi”—diberi posisi kehormatan, namun jauh dari pusat pengaruh.
Sementara itu, tokoh-tokoh baru seperti Bursah Zarnubi, Fandi Wijaya, atau Abdullah Rasyid bisa jadi sedang diukur kapasitasnya—apakah mereka hanya simbol keberagaman diskusi, atau calon-calon aktor di panggung kabinet mendatang?
Pembersihan senyap adalah seni menghindari perlawanan
Ini bukan kudeta internal. Ini pergeseran yang menggunakan ketenangan sebagai alat utama.
Sebab Prabowo belajar dari sejarah: mereka yang tergesa dan menggertak di awal, akan habis di tengah jalan.
Maka Dasco tak perlu mengangkat suara. Ia hanya perlu menyusun irama baru.
Sebuah catatan kecil:
Jika benar Eggi Sudjana bisa duduk berdampingan dengan kekuasaan yang dulunya ia lawan habis-habisan, maka dua hal telah terjadi sekaligus:
Pertama, kekuasaan telah membuka pintunya.
Kedua, sistem Jokowi perlahan kehilangan perisai suci bernama “tidak tergantikan”.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur