"Sayangnya, PSI hanya mengumumkan Ketua Umum dan pengurus PSI. Celakanya Ketua Umumnya hanya Kaesang Pangarep yang nilai jualnya sangat rendah," tegasnya.
Ia berpendapat bahwa kelemahan ini sebenarnya bisa ditutupi jika PSI mengumumkan Ketua Dewan Pembinanya secara bersamaan dengan pengurus lainnya.
"Hal itu bisa saja ditutupi bila ketua dewan pembinanya diumumkan bersamaan. Dengan begitu, ketua umum yang tak layak jual masih tertutupi oleh nilai jual ketua dewan pembinanya," jelasnya.
Namun, strategi itu tidak dilakukan oleh PSI.
"Sayangnya hal itu tidak dilakukan oleh PSI. Kiranya inilah kelemahan marketing politik PSI," pungkasnya.
Sebelumnya, spekulasi mengenai peran mantan Jokowi di PSI semakin menguat.
Hal ini menyusul sebuah video yang memperlihatkan Jokowi memberikan arahan langsung kepada jajaran pengurus baru DPP PSI pimpinan putranya, Kaesang Pangarep, di Bali.
Momen tersebut terekam dalam unggahan video di akun Instagram resmi PSI, @psi_id.
Dalam tayangan itu, seluruh kader tampak serius menyimak wejangan Jokowi, tapi isi pembicaraan sengaja dibisukan, yang semakin memicu rasa penasaran publik.
Pertemuan itu berlangsung di Waroeng Kopi Klotok Seminyak, Bali, dan dihadiri oleh para elite PSI, mulai dari Ketua Umum Kaesang Pangarep, Ketua Harian Ahmad Ali, Sekjen Raja Juli Antoni, hingga anggota Dewan Pembina Grace Natalie.
Kemunculan Jokowi ini semakin menguatkan spekulasi bahwa sosok misterius Ketua Dewan Pembina PSI yang disebut 'Bapak J' adalah dirinya.
Nama 'Bapak J' sendiri diumumkan secara resmi dalam pelantikan pengurus DPP PSI periode 2025–2030 di Jakarta, pada Jumat (26/9/2025).
Saat itu, Sekjen PSI Raja Juli Antoni menyebutkan secara jelas: "Dewan Pembina Ketua yang terhormat, 'Bapak J'," ucapnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara