Sederet Opsi Rekayasa Konstitusional Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

- Minggu, 06 Juli 2025 | 14:45 WIB
Sederet Opsi Rekayasa Konstitusional Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

POLHUKAM.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal final dan mengikat. 


Berangkat dari hal itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan segera mendiskusikan bentuk-bentuk rekayasa konstitusional guna menindaklanjuti putusan MK tersebut.


Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, ada sejumlah rekayasa konstitusional yang dapat dipilih pembentuk undang-undang untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut. 


Rekayasa konstitusional itu mesti diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).


Putusan MK dimaksud, bernomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025). 


Dalam putusannya, MK memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029. 


Pemilu nasional diminta digelar terlebih dahulu, sedangkan pemilu lokal diselenggarakan antara 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan presiden-wakil presiden atau pelantikan anggota DPR dan DPD.


Pemilu nasional mencakup pemilihan presiden dan anggota DPR serta DPD, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta pemilihan gubernur dan wali kota/bupati.


Khoirunnisa melanjutkan, salah satu rekayasa konstitusional yang bisa diambil menyusul putusan MK itu adalah memperpanjang masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 


Anggota DPRD provinsi serta kabupaten/kota hasil Pemilu 2024 yang semestinya berakhir pada 2029 nantinya diperpanjang sehingga menjabat sampai 2031.


Dalam kurun waktu masa transisi selama sekitar dua tahun tersebut, parpol diberikan pilihan untuk tetap mempertahankan anggota DPRD yang menjabat ataupun menempuh mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) dan mengganti anggota DPRD-nya. 


Namun, PAW tetap berpedoman pada hasil Pemilu 2024 sehingga anggota DPRD pengganti tetap mengacu pada urutan perolehan suara terbanyak.


Opsi tersebut lebih mungkin dan rasional ditempuh daripada menunjuk penjabat anggota DPRD untuk mengganti anggota DPRD 2024-2029 yang berakhir masa jabatannya pada 2029. 


Sebab, jika penunjukan penjabat dilakukan, akan ada banyak anggota DPRD yang harus ditunjuk serta belum ada mekanisme untuk menentukan penjabat anggota DPRD.


"Satu-satunya rekayasa konstitusional yang rasional untuk anggota DPRD hanya memperpanjang masa jabatan. Kalaupun partai ingin menggunakan mekanisme PAW selama masa transisi, tetap harus berpedoman pada hasil Pemilu 2024," katanya.


Sedangkan untuk kepala daerah, lanjut Khoirunnisa, sejatinya ada dua opsi yang dapat dipilih pembentuk undang-undang. 


Pertama, memperpanjang masa jabatan gubernur serta bupati/wali kota hingga terpilih kepala daerah hasil Pilkada 2031. 


Opsi ini cenderung lebih rasional karena perpanjangan masa jabatan hanya dilakukan kurang dari dua tahun. 


Mengingat, kepala daerah hasil Pilkada 2024 baru dilantik tahun ini.


Adapun opsi kedua dengan menunjuk penjabat kepala daerah seperti yang pernah dilakukan menuju keserentakan Pilkada 2024. 


Namun, opsi ini sebaiknya tidak diulang karena penunjukan penjabat kepala daerah seringkali bermasalah. 


Penjabat juga tidak memiliki legitimasi kuat dibandingkan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.


"Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah menjadi opsi paling rasional karena memberikan perlakuan yang sama terhadap eksekutif dan legislatif hasil Pemilu dan Pilkada 2024," tutur Khoirunnisa.


Lebih jauh, lanjutnya, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi. 


Rekayasa konstitusional tersebut merupakan perintah MK dan dilakukan untuk mengatur keserentakan pemilu nasional dan lokal yang lebih tertata. 


Masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah hasil pemilu lokal 2031 pun akan tetap lima tahun, bukan terus-terusan selama tujuh tahun.


p


Terlebih, Indonesia juga pernah menerapkan masa transisi menuju Pemilu 1999 dengan mempercepat pelaksanaan pemilu. 


Masa jabatan anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu 1997 yang semestinya berakhir pada 2002 pun harus berakhir lebih cepat menjadi hanya sekitar dua tahun.


Halaman:

Komentar