Undang-undang tersebut awalnya dimaksudkan untuk menunjukkan tindakan keras Macron terhadap imigrasi, sehingga Prancis terbuka bagi pekerja asing yang membutuhkan pekerjaan.
Dalam laporan Al Jazeera, Macron bahkan menegaskan bahwa Prancis selalu menerima dan menerima orang asing, terutama pelajar dan pencari suaka. Macron sebenarnya tidak setuju dengan setiap bagian undang-undang tersebut, namun hal ini merupakan hasil kompromi yang diperlukan.
“Kehidupan politik terdiri dari krisis, kesepakatan dan ketidaksepakatan,” kata Macron. Macron berusaha meyakinkan warganya bahwa dia tidak mendukungnya untuk menghentikan kelompok ekstrim kanan, yang mengecewakan para pemilih.
Dalam pemungutan suara yang digelar di Parlemen pada Selasa (21 Desember), 349 anggota parlemen mendukung RUU tersebut dan 186 anggota parlemen lainnya menentangnya.
Puluhan organisasi sipil Perancis menentang keras penerapan undang-undang ini. “Ini adalah rancangan undang-undang yang paling regresif dalam 40 tahun terakhir mengenai hak dan kondisi kehidupan orang asing, termasuk mereka yang sudah lama tinggal di Prancis,” kata sekitar 50 LSM, termasuk Federasi Hak Asasi Manusia Prancis.
“Dengan teks yang terinspirasi oleh pamflet RN anti-imigrasi, kita menghadapi perubahan dalam sejarah republik dan nilai-nilai intinya.” kata pemimpin Partai Komunis Prancis Fabien Roussel.
Pascalis Mali/PJ E/7022210101
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: dkylb.com
Artikel Terkait
Bayi Digendong Saat Curanmor di Babelan Bekasi, Kronologi Lengkap Pasutri Pelaku
Anak Riza Chalid Borong Rp176 Miliar untuk Main Golf dari Uang Haram Korupsi Pertamina
Mantan Ketum AMPHURI Klaim Tak Kenal Yaqut, Padahal Pernah Bertemu di Arab Saudi?
Rudi Irmawan Kajati Paling Miskin, Hartanya Kalah Jauh dari Bernadeta yang Tajir