Dibutuhkan uji karbon, uji tinta, serta keaslian tandatangan dan stempel institusi. UGM sebagai institusi pemberi ijazah juga harus memberikan konfirmasi resmi secara terbuka.
Lebih jauh, proses akademik yang melahirkan ijazah pun harus bisa diverifikasi: apakah Jokowi benar menjalani kuliah selama lima tahun, menyelesaikan tugas akhir, mengikuti sidang skripsi, dan mendapat nilai sesuai regulasi akademik?
Tidak Cukup dengan Klaim Sepihak
Dalam perspektif hukum, Jokowi tidak bisa hanya mengatakan, “Yang menuduh, harus membuktikan.”
Sebagai pihak yang merasa difitnah, jika ia serius dan yakin ijazahnya asli, justru Jokowi-lah yang harus membawa bukti kuat ke hadapan publik dan/atau pengadilan.
Apalagi dampak dari isu ini tidak main-main. Jika tuduhan itu terbukti benar, maka akan menjadi cacat yuridis terhadap keabsahan semua tindakan, keputusan, dan kebijakan negara selama dua periode kepemimpinan Jokowi.
Ini menyangkut implikasi konstitusional, legal, moral, dan historis atas seluruh produk hukum — dari Keppres, Perpres, Inpres, Perpu, hingga RUU — yang diproduksi selama masa pemerintahannya.
Pelanggaran Asas Transparansi
Sikap Jokowi yang enggan membuka kebenaran secara tuntas juga memperkuat asumsi publik mengenai pelanggaran asas transparansi dan good governance.
Sebagai kepala negara, ia seharusnya menjadi teladan, bukan justru menghindar dari pembuktian yang sahih.
Sayangnya, ketertutupan ini hanya memperkuat stigma publik bahwa Jokowi lebih layak disebut sebagai “King of Lip Service”, sebagaimana pernah dilabeli oleh sejumlah lembaga survei mahasiswa.
Selain itu, praktik nepotisme dan dugaan obstruction of justice selama masa jabatannya semakin menegaskan pola kekuasaan yang tidak patuh pada hukum positif.
Penutup: Tanggung Jawab Moral dan Hukum
Apapun hasilnya kelak jika perkara ini benar masuk ke ranah hukum, sebagai presiden (aktif maupun pasca-jabatan), Jokowi tidak dapat melepaskan tanggung jawab moral dan hukum atas semua konsekuensi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Ini bukan hanya soal kehormatan pribadi dan keluarga, tetapi tentang integritas sejarah dan keabsahan sistem kenegaraan.
Publik berhak tahu — dan Jokowi wajib membuktikan — bahwa seluruh kebijakan yang ia hasilkan lahir dari legitimasi yang sah, bukan dari sebuah ijazah palsu.
***
Artikel Terkait
Bayi Digendong Saat Curanmor di Babelan Bekasi, Kronologi Lengkap Pasutri Pelaku
Anak Riza Chalid Borong Rp176 Miliar untuk Main Golf dari Uang Haram Korupsi Pertamina
Mantan Ketum AMPHURI Klaim Tak Kenal Yaqut, Padahal Pernah Bertemu di Arab Saudi?
Rudi Irmawan Kajati Paling Miskin, Hartanya Kalah Jauh dari Bernadeta yang Tajir