Duel Dua Konglomerat, Hary Tanoe vs Jusuf Hamka: Gugatan Rp103 Triliun Cuma Drama Kadaluwarsa?

- Minggu, 17 Agustus 2025 | 14:00 WIB
Duel Dua Konglomerat, Hary Tanoe vs Jusuf Hamka: Gugatan Rp103 Triliun Cuma Drama Kadaluwarsa?




POLHUKAM.ID - Polemik hukum antara dua konglomerat besar Tanah Air kembali menjadi sorotan publik.


PT MNC Asia Holding Tbk, perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo, menegaskan bahwa gugatan jumbo dari PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) milik Jusuf Hamka terkait transaksi sertifikat deposito pada 1999 sudah tidak relevan lagi karena dianggap kedaluwarsa.


Pernyataan itu disampaikan Direktur Legal MNC Asia Holding, Chris Taufik, yang menegaskan bahwa kasus tersebut telah berkali-kali diuji di pengadilan, baik perdata maupun pidana, dan seluruh putusannya sudah berkekuatan hukum tetap.


“Transaksi yang dipermasalahkan CMNP itu terjadi 26 tahun lalu, tepatnya 12 Mei 1999. Dari sisi hukum, perkara ini sudah final dan tidak bisa lagi dipermasalahkan,” ujar Chris dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (16/8).


Transaksi Lama, Bank Sudah Dibubarkan


Kasus ini bermula saat CMNP membeli Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang diterbitkan Bank Unibank.


Dalam transaksi itu, MNC hanya berperan sebagai broker atau perantara. Namun pada 2001, Unibank dilikuidasi sehingga gagal bayar kepada CMNP.


Menurut MNC, kerugian yang dialami CMNP sepenuhnya merupakan tanggung jawab Unibank, bukan MNC.


“Setelah transaksi, seluruh korespondensi dilakukan langsung antara CMNP dengan Unibank. Bahkan akuntan publik sudah mengonfirmasi NCD itu sah diterbitkan,” jelas Chris.


CMNP sempat membawa kasus ini ke jalur hukum pada 2004.


Mereka menggugat Unibank, BPPN, pemerintah, hingga Bank Indonesia. Namun putusan pengadilan menegaskan NCD tersebut sah.


Upaya pidana juga dilakukan melalui laporan polisi pada 2009, tetapi Bareskrim menghentikan penyidikan pada 2011 dengan surat SP3 yang kemudian dikukuhkan lewat putusan kasasi Mahkamah Agung pada 2013.


Gugatan Baru dengan Nilai Fantastis


Meski serangkaian putusan telah keluar, pada 13 Agustus 2025, CMNP kembali mengajukan gugatan terhadap Hary Tanoe dan pihak terkait.


Nilai ganti rugi yang diminta fantastis, mencapai Rp103 triliun untuk kerugian materiil dan Rp16 triliun untuk kerugian imateriil.


“Kerugian yang dialami klien kami sangat besar, karena NCD yang dibeli pada 1999 ternyata tidak bisa dicairkan. Ini jelas perbuatan melawan hukum,” kata kuasa hukum CMNP, Primaditya Wirasan, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Primaditya menegaskan tuntutan tersebut bisa bertambah seiring waktu hingga dibayar lunas berikut dendanya.


Gugatan itu tidak hanya ditujukan kepada Hary Tanoe, tetapi juga MNC Asia Holding, Tito Sulistio, dan Teddy Kharsadi.


Pertarungan Dua Konglomerat


Kasus ini mencuri perhatian publik karena melibatkan dua nama besar dalam dunia bisnis Indonesia.


Hary Tanoesoedibjo dikenal sebagai pemilik MNC Group, raksasa media dan finansial, sekaligus sosok yang kerap terjun di dunia politik.


Sementara Jusuf Hamka populer sebagai “konglomerat jalan tol” yang memiliki citra dermawan di mata masyarakat.


Publik menilai, pertarungan hukum ini tidak sekadar soal uang, tetapi juga reputasi.


“Kalau benar gugatan ini dianggap kedaluwarsa, kenapa masih bisa masuk pengadilan? Masyarakat jadi bingung, siapa yang salah sebenarnya,” ujar seorang pengamat hukum bisnis yang enggan disebutkan namanya.


Sidang gugatan Rp103 triliun ini baru memasuki tahap awal dengan pembacaan gugatan.


Putusan akhir masih jauh, namun besar kemungkinan akan kembali menyeret nama kedua konglomerat ini ke pusaran sorotan media dan publik.


Kasus hukum yang sudah berumur lebih dari dua dekade ini kembali membuka babak baru perseteruan antara Jusuf Hamka dan Hary Tanoe.


Meski MNC menyebut gugatan CMNP sudah kedaluwarsa, proses di pengadilan tetap berjalan dan berpotensi menambah panjang daftar konflik hukum yang melibatkan para taipan Indonesia.


Apakah gugatan Rp103 triliun ini hanya sekadar gebrakan atau benar-benar akan mengguncang bisnis Hary Tanoe, publik masih harus menunggu sidang selanjutnya.


Sumber: HukamaNews

Komentar