Faktor kedua, menurut Radjasa, adalah pembelokan isu demonstrasi.
Gerakan yang awalnya menyuarakan tuntutan penangkapan Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka, secara sistematis digeser menjadi isu pembubaran DPR dengan tuduhan hedonisme.
"Isu awal demonstrasi yang menuntut penangkapan Jokowi dan Gibran dibelokkan menjadi isu pembubaran DPR karena dianggap hedonis dan tidak layak menjadi wakil rakyat," ungkapnya.
Lebih jauh, ia mengklaim adanya keterlibatan aparat dalam mengeskalasi situasi.
Radjasa secara spesifik menyebut istilah "Geng Solo", sebutan yang kerap merujuk pada lingkaran perwira tinggi TNI-Polri yang pernah bertugas di Surakarta semasa kepemimpinan Jokowi, sebagai pengendali di lapangan.
Ia menuding aparat kepolisian seolah sengaja membiarkan situasi memanas untuk menciptakan citra bahwa pemerintahan Prabowo represif dan gagal mengendalikan keamanan.
Beberapa kejanggalan dalam penanganan demo turut menjadi sorotannya, termasuk klaim bahwa polisi tidak memberikan perlawanan yang berarti pada awalnya dan adanya keterlibatan tentara yang dinilai tidak lazim dalam penanganan unjuk rasa.
Hal ini, menurutnya, memperkuat dugaan bahwa kericuhan tersebut adalah bagian dari sebuah desain besar untuk menggoyang kursi Presiden Prabowo dari dalam.
👇👇
tags
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur