Mengurai Isu Pembiayaan dan Dugaan Mark Up Proyek Kereta Cepat Whoosh
Proyek kereta cepat Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat) kembali menjadi sorotan menyusul kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar hutangnya. Skema pembiayaan yang awalnya Business to Business (B to B) dengan Jepang, beralih ke China dengan pola yang dianggap bergeser menjadi Business to Government (B to G), kini menimbulkan kebingungan. PT BPI Danantara ditunjuk untuk menangani restrukturisasi utang yang mencapai angka fantastis, yaitu sekitar Rp 116 triliun.
Tanggapan Petinggi dan Analisis Para Ahli
Merespons wacana penggunaan APBN yang disebutkan oleh Rosan Roeslani dari Danantara, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membantah keras. Ia menegaskan bahwa tidak ada permintaan penggunaan dana APBN. Solusi yang diajukan adalah restrukturisasi utang dengan China Development Bank (CDB), yang menurutnya telah disetujui oleh pihak China.
Namun, analis kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan bahwa ide kerja sama Whoosh dengan skema utang ke China berasal dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sementara itu, ekonom Anthoni Budiawan memberikan pandangan bahwa proyek ini terindikasi mark up yang berlipat. Beban finansial yang berat ini berpotensi membawa Whoosh pada kebangkrutan, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pengambilalihan oleh China.
Artikel Terkait
Luhut Usulkan Dana Rp 50 Triliun untuk INA: Siapa Di Balik Indonesia Investment Authority?
MK Harus Kabulkan Gugatan MAKI Soal Uang Pensiun DPR yang Dinilai Melanggar Aturan
Prabowo: Kekayaan Indonesia Banyak Diselewengkan, Publik Mudah Dibohongi?
Viral! Kronologi Meninggalnya Timothy Anugerah Saputra, Mahasiswa Udayana Korban Bullying