"Contohnya 'flyover' Jatinegara dengan Stasiun Jatinegara, itu sebenarnya satu halte, atas dan bawah. Itu sebabnya kita samakan namanya," katanya.
Lalu Pulogadung 1 dan 2 digabung menjadi Pulogadung. "Jadi sebetulnya ada aspek-aspek itu," kata Fadly.
Lalu, faktor ketiga terkait netralisasi dengan adanya nama-nama tokoh ataupun area komersial dan lain-lain. "Sehingga ketika ke depan kita ingin melakukan pemanfaatan halte, maka tidak ada potensi terjadi tuntutan dari pihak ketiga," katanya.
Terkait sosialisasi perubahan nama halte ke pelanggan TransJakarta, pihaknya terus melakukan sosialisasi melalui media "online" ataupun diskusi ke komunitas dan lembaga. Hal itu mengingat sebanyak 1,1 juta pelanggan TransJakarta tentunya belum tersosialisasi secara menyeluruh.
Sebelum diputuskan perubahan beberapa nama halte, pihaknya sudah berdiskusi dengan beberapa komunitas terkait langkah-langkah yang akan ditempuh.
"'Naming rights' (hal penamaan) itu hal baru di kita. Kalau kita melihat dari negara maju, sudah biasa. Itu hak penamaan suatu gedung," katanya.
Fadly memastikan, TransJakarta sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya menjadi transportasi publik yang maksimal dalam rangka memberikan pelayanan terbaik.***
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: bicaranetwork.com
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur