Supaya target pertemuan tercapai maka jumlah peserta harus dibatasi dan siapa saja yang dihadirkan juga harus terdata dengan baik.
Pihak tim TPUA mengajukan 20 yang diputuskan pihak rektorat UGM hanya 5.
Relagama meminta untuk penambahan kuota karena ada beberapa pihak yang berkepentingan termasuk dari KAGAMA. Itu pun di tolak pihak kampus tercinta.
Di lain pihak. Petinggi kampus hanya akan diwakili mas Ari Sujito dan beberapa orang sedang rektor sendiri berhalangan hadir.
Sehingga dalam ruangan pertemuan diperkirakan akan terjadi dialog yang seimbang.
Ketika tanggal 15 April pagi beberapa menit acara akan dimulai pihak TPUA mendapat kabar 2 orang terhalang di perjalanan sehingga yang tersisa 3 orang. dr. Tifa, Mas Roy Suryo, Bang Rismon.
Jatah kursi sisa 2, kami ajukan buat Mas Heru Subagia dari Kagama dan Syukri Fadholi tetap ditolak.
Dengan tetap semangat untuk mencari kebenaran buat menegakkan marwah perguruan tinggi sebagai lembaga akademis dan intelektual yang menjunjung tinggi obyektivitas maka 3 orang maju.
Tapi sungguh kami dan saya sendiri dibuat terkejut karena di dalam ruangan selain 4 orang pihak rektorat ternyata sudah ada 12 orang rombongan yang tidak tercantum dalam komunikasi awal untuk dihadirkan. Termasuk B Tou Saminuddin .
Betapa mengecewakan dalam lingkungan akademis masih butuh hora hore seperti layaknya pertandingan olah raga
Pertanyaan apakah praktik tidak gentle yang diperlihatkan pihak rektorat pantas untuk menjadi pihak yang mampu menyelesaikan kasus ijazah pak Jokowi?
Institusi apalagi yang akan menjadi contoh untuk berbicara sebuah kebenaran jika UGM tidak mampu berdiri secara netral tanpa memiliki kepentingan dibalik tindakan di atas.
***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur