Ada keluarga lain yang nyaman berakrobat dari jabatan Walikota ke Gubernur, tak ubahnya warisan tahta di kerajaan.
Jangan lupa, ada keluarga yang duduk manis mengelola perusahaan-perusahaan pelat merah, seolah BUMN adalah milik pribadi.
Mereka, keluarga-keluarga ini, bukan hanya mendapat pekerjaan. Mereka mengunci pintu rezeki publik agar tetap dalam genggaman keturunan sendiri. Negara berubah menjadi kongsi darah.
Semangat kekeluargaan itu — yang oleh para pendiri bangsa dimaktubkan dalam Pasal 33 ayat 1 — adalah perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama, berdasarkan asas kekeluargaan. Tapi kini, asas kekeluargaan itu dipelintir menjadi nepotisme legal.
Asas itu telah dibajak menjadi dalih untuk memupuk dinasti, membangun kerajaan-kerajaan kecil dalam tubuh negara, memperluas gurita kekuasaan yang hanya melayani kepentingan segelintir nama keluarga.
Kita tengah menyaksikan lahirnya sebuah rezim baru: Negara Keluarga.
Konstitusi dirombak menjadi surat hak milik kelompok-kelompok darah biru baru. Rakyat hanya diberi peran sebagai penonton dalam demokrasi olok-olok ini.
Dalam negara keluarga ini, meritokrasi mati muda. Integritas menjadi anekdot. Hak rakyat untuk bermimpi menjadi pejabat tinggi tanpa koneksi darah kini terasa konyol.
Sebab, sebelum mereka mengabdi pada bangsa, mereka harus terlebih dahulu mengabdi pada nama keluarga yang berkuasa.
Negeri ini dibangun atas semangat gotong royong. Tapi hari ini, gotong royong itu berarti: keluarga menggotong keluarga, rakyat digotong keluar dari panggung utama.
Dan kita — para pemilik sah negeri ini — hanya bisa menatap getir dari balik pagar pesta keluarga.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur