Mereka lebih tertarik menciptakan rasa aman untuk kursi kekuasaan, ketimbang mengurai benang kusut tata kelola pemerintahan yang hingga kini masih belum terlihat taringnya.
Apa artinya loyalitas jika yang dikorbankan adalah rakyat?
PAN, lewat Zulkifli Hasan, bahkan tak malu-malu menyebut bahwa dukungan kepada Prabowo disertai syarat: ikut menentukan cawapres.
Artinya, ini bukan soal ide, bukan soal arah bangsa, tetapi semata-mata transaksi politik untuk memastikan bagian dalam kekuasaan tetap aman.
Demikian pula Golkar di bawah Bahlil Lahadalia—menyebut siap dua periode tanpa sedikit pun menyentuh kebutuhan rakyat yang harus diselesaikan hari ini.
Sementara PKB, meski belum ikut dalam rombongan deklarasi, tetap saja tidak menunjukkan sikap oposisi konstruktif.
Cak Imin lebih memilih nada bercanda ketimbang memberikan pernyataan politik yang substantif.
Kini muncul pertanyaan krusial: apakah para ketua umum partai ini sedang memainkan strategi untuk mengamankan posisi kader-kader mereka di kabinet? Bisa jadi, dukungan dini kepada Prabowo adalah cara halus untuk menghindari reshuffle.
Presiden Prabowo, yang dikenal punya gaya militeristik dalam mengambil keputusan, tentu bisa sewaktu-waktu mengganti menteri yang tidak sinkron atau dinilai membebani. Maka, loyalitas dini bukan semata bentuk dukungan, tapi bisa jadi siasat bertahan.
Seperti politikus yang merunduk sebelum badai reshuffle datang, para ketum partai itu memilih jalan aman: memeluk erat sang presiden. Mungkin bukan karena cinta, tapi karena takut kehilangan kursi.
Inilah wajah politik Indonesia hari ini.
Di saat demokrasi seharusnya menjadi arena kompetisi ide dan gagasan, yang terjadi justru parade oportunisme tanpa malu.
Parpol-parpol telah berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, bukan sebagai alat kontrol, bukan pula sebagai rumah pendidikan politik rakyat.
Mereka menjadi penumpang yang berebut kursi di kapal besar bernama “petahana,” meski arah kapal belum jelas, bahkan kompasnya pun belum ditemukan.
Jika seperti ini terus, maka bukan mustahil pada 2034 nanti, saat presiden belum dilantik, parpol sudah sibuk mendeklarasikan capres 2044.
Kita mungkin memang hidup di negara demokrasi. Tapi dalam demokrasi yang sehat, masa depan tidak ditentukan oleh dukun politik, melainkan oleh kerja keras hari ini.
Dan untuk itu, kita harus mulai bertanya: siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat, dan siapa yang hanya sibuk meramal kekuasaan? ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur