Polhukam.id - Pengamat politik Muslim Arbi menilai Indonesia makin terlihat berada dalam penguasaan nepotisme dan oligarki pasca putusan Mahkamah Konstitusi menolak seluruh usul uji materi (judicial review) atas ketentuan Presidential Threshold (ambang batas pemilihan Presiden).
Muslim beranggapan, hal itu berbahaya bagi perkembangan demokrasi yang berpihak pada rakyat.
“Berbagai analisa dan teori bisa dibuat dan sayangnya tidak ada yang positif bagi kinerja MK,” katanya.
“Terlalu ngotot menolak terus tanpa mempertimbangkan argumentasi para penggugat,” lanjutnya, Rabu, 13 Juli 2022.
Sebagaimana diketahui, setelah bersidang berbulan-bulan, MK pada akhirnya menolak seluruh uji materi yang disampaikan oleh 38 kelompok masyarakat terhadap pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017.
Pasal tersebut pada dasarnya menyebutkan untuk menjadi calon Presiden seseorang harus mendapat dukungan dari partai atau gabungan partai yang mempunyai kursi 20 persen di DPR RI.
Sikap kaku MK itu dikecam oleh penggiat demokrasi sebagai langkah mundur dalam merekrut calon pemimpin terbaik.
Penolakan MK itu, menurut Muslim Arbi, sangat merisaukan jika dikaitkan dengan kondisi partai di Indonesia sekarang ini.
Muslim beranggapan saat ini sebagian besar berlaku nepotis dengan lebih mendahulukan kepentingan keluarga dan orang-orang dekat dari pada kepentingan rakyat.
Artikel Terkait
OTT KPK Gagalkan Gubernur Riau Kabur, Ini Identitas dan Modus yang Bikin Heboh
BREAKING: KPK Umumkan Nasib Gubernur Riau Abdul Wahid Pagi Ini! Ini Fakta OTT dan Uang Sitaan Rp1 Miliar+
Ustadz Abdul Somad Beri Dukungan Usai Gubernur Riau Abdul Wahid Kena OTT KPK, Ini Pesan Hadistnya
OTT KPK! Harta Fantastis Gubernur Riau Abdul Wahid Tembus Rp4,8 Miliar, Ini Rinciannya