Modal awal BPI Danantara berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, tetapi tidak ada jaminan pengelolaannya benar-benar untuk kepentingan negara. Jika investasi gagal atau merugi, negara tetap bisa menanggung akibatnya tanpa kontrol yang kuat.
b. Melemahkan Kontrol Pemerintah atas Aset BUMN
Pengelolaan aset BUMN kini berbasis investasi, sehingga negara kehilangan sebagian kendali langsung atas aset strategis. Keputusan investasi pun berpotensi lebih menguntungkan investor dibanding negara.
c. Risiko Tata Kelola Tidak Transparan
BPI Danantara bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan kepada publik atau parlemen. Ini berisiko menciptakan keputusan investasi tanpa pengawasan demokratis, meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
d. Benturan dengan UU Keuangan Negara
Dalam UU Keuangan Negara, kekayaan negara yang dipisahkan tetap dianggap sebagai keuangan negara.
Namun, revisi UU BUMN justru menempatkan modal BUMN sebagai aset korporasi. Hal ini bisa menyulitkan negara dalam menangani aset bermasalah.
Kesimpulan IAW
- Revisi UU BUMN melemahkan negara karena pengawasan terhadap keuangan negara berkurang, sementara privatisasi BUMN semakin mudah dilakukan.
- BPI Danantara menjadi entitas sulit diawasi meskipun mengelola aset negara dalam jumlah besar.
- Konflik antara UU BUMN dan UU Keuangan Negara dapat merugikan kinerja pemerintahan, terutama dalam mendefinisikan kekayaan negara yang dipisahkan.
- Risiko kerugian negara meningkat jika investasi BPI Danantara tidak memiliki mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang lebih kuat dibanding sebelumnya.
“Pemerintah dan DPR seharusnya melakukan kajian lebih dalam sebelum terlambat,” tegas Iskandar Sitorus.
Tanpa mekanisme audit BPK, tidak ada jaminan BPI Danantara bisa lebih profesional dalam menjalankan bisnisnya.
Kasus Internasional Sebagai Pelajaran
Iskandar Sitorus juga mengingatkan bahwa badan hukum swasta berskala global pun tidak lepas dari kasus korupsi dan manipulasi. Ia menyebut beberapa contoh kasus besar:
Innospec Limited (2010-2015) Perusahaan kimia asal Inggris terbukti menyuap pejabat PT Pertamina untuk memenangkan kontrak penjualan bahan tambahan bensin (TEL). Kasus ini ditangani oleh Serious Fraud Office (SFO) Inggris dan KPK.
Alstom dan Marubeni (2004) Perusahaan asal Prancis dan Jepang terlibat penyuapan dalam proyek PLTU Tarahan, Lampung.
Mereka melanggar regulasi anti-penyuapan internasional dan bekerja sama dengan otoritas global dalam penyelesaiannya.
Rolls-Royce (2017) Perusahaan asal Inggris diduga menyuap pejabat PT Garuda Indonesia untuk memenangkan kontrak pengadaan mesin pesawat. Kasus ini ditangani melalui kerja sama antara KPK dan SFO Inggris.
“Jika perusahaan multinasional saja bisa terlibat korupsi, bagaimana dengan BPI Danantara yang tidak diaudit langsung oleh BPK?” tutup Iskandar Sitorus.
Sumber: PorosJakarta
Artikel Terkait
Gugatan Ijazah Gibran Gagal Mediasi, Langsung Diperiksa di Pengadilan Hari Ini
KPK Tantang Mahfud MD Bongkar Data Dugaan Mark Up 3 Kali Lipat Proyek Kereta Cepat!
Bongkar Korupsi Bobby Nasution: Mens Rea dan Modus Permainan Anggaran APBD Sumut
Bahlil Dilaporkan ke Mabes Polri! Kader Golkar Ungkap Akun Penyebar Fitnah