Ada satu jenis makanan yang disantapnya rakus—tanpa jeda, tanpa sendok, tanpa malu: makanan kekuasaan.
Kekuasaan, ketika disajikan di atas meja istana, tampaknya memang lebih menggiurkan dari segala macam kuliner Nusantara.
Kekuasaan bikin kenyang, tapi bukan perut yang kenyang—melainkan ambisi.
Kekuasaan bikin mata melek, tapi bukan karena semangat, melainkan karena takut kehilangan jabatan.
Kekuasaan bikin gatal, bukan karena alergi, tapi karena terlalu banyak menyentuh hal-hal yang haram.
Dan di situlah letak perkara. Rakus akan kekuasaan membuat Jokowi harus menelan segala cara: menipu rakyat dengan pencitraan, membungkam lawan dengan hukum, memelihara KKN dalam petak-petak kekuasaan, dan menjadikan negeri ini panggung sandiwara demokrasi.
Barangkali, penyakitnya itu bukan hanya penyakit badan. Itu hanya indikator kecil dari sesuatu yang lebih besar: stres politik.
Bayangkan saja, betapa capeknya pura-pura adil, pura-pura netral, pura-pura membangun negara sambil menyelundupkan keluarga ke puncak kekuasaan.
Stres macam itu tak bisa disembuhkan dengan salep atau kapsul.
Ia hanya bisa reda kalau manusia kembali pada dirinya sendiri—tapi agaknya, jalan kembali itu sudah disesatkan sejak lama.
Jadi, barangkali benar: sakit itu datang bukan dari perut, tapi dari hati yang gelisah. Dari pikiran yang penuh kalkulasi, dari jiwa yang terlalu sering berdusta.
Dan ketika semua itu berkumpul dalam satu tubuh, maka bukan hanya kulit yang gatal—tapi juga sejarah yang akan menggaruk-garuk namanya dengan malu.
Begitulah. Kadang-kadang, tubuh itu jujur mewakili beban yang terlalu lama disangkal. ***
Artikel Terkait
Irak vs Indonesia: Kekalahan 0-1 Gagalkan Mimpi Garuda ke Piala Dunia 2026
Prajurit TNI Gugur Diserang OPM Saat Anjangsana, Ini Kronologinya
Solidaritas Palestina Menggema di Patung Kuda: Ratusan Bendera Berkibar, Kecaman terhadap Israel Bergaung
DPR Soroti IMB: Kementerian PU Akan Bangun Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Pakai APBN