Surat Terbuka Untuk Presiden: Prabowo Segeralah Bertindak, Jangan Biarkan Rakyat Berhadapan Dengan Aparat!
Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis, Akademisi dan Mantan Aktivis 98
Di tengah hiruk pikuk demokrasi yang mestinya tumbuh subur, negeri ini justru dipaksa menelan pahitnya kebijakan yang lahir dari ruang-ruang kekuasaan yang tertutup.
Segelintir elite politik, dengan segala kepentingannya, mengeluarkan aturan-aturan yang mengabaikan jeritan rakyat.
Rancangan undang-undang yang menyentuh urat nadi kehidupan buruh, mahasiswa, dan masyarakat kecil disahkan dengan terburu-buru, tanpa ruang dialog yang jujur.
Pesta pora para elit di DPR RI yang berjoget ria akibat kenaikan tunjangan yang menganggap dan mengganggap kenaikan itu wajar ditengah sulitnya rakyat memenuhi kebutuhannya sehari hari, sulitnya mereka mendapatkan pekerjaan, pajak yang mencekik Adalah potret ketidak pekaan elit dan para wakil rakyat.
Rakyat semakin tertindas sementara elit semakin kaya. Sebuah potret kesenjangan keadilan.
Rakyat merasa ditinggalkan, diperlakukan hanya sebagai angka di kertas suara saat pemilu, lalu diabaikan setelah pesta demokrasi usai.
Mereka yang berteriak menolak ketidakadilan justru dicap pengganggu stabilitas. Demonstrasi yang semula lahir dari nurani, berubah menjadi benturan dengan aparat.
Jalan-jalan kota menjadi saksi: mahasiswa berlumuran darah, buruh jatuh tersungkur, ibu-ibu terjebak dalam kepanikan gas air mata, bahkan nyawa melayang di tengah tuntutan yang tak kunjung didengar.
Tragedi ini bukan semata kesalahan di jalanan, melainkan buah dari kebijakan elitis yang tak berpihak.
Ketika suara rakyat dicederai, mereka turun ke jalan. Dan ketika negara menjawab dengan kekerasan, maka luka itu berubah menjadi duka mendalam.
Gelombang demonstrasi yang belakangan merebak di berbagai kota besar Indonesia telah meninggalkan luka mendalam bagi kehidupan demokrasi kita. Jalan-jalan yang semestinya menjadi ruang ekspresi rakyat berubah menjadi arena ketegangan.
Teriakan mahasiswa, buruh, dan rakyat yang menuntut haknya dibalas dengan gas air mata, pentungan, bahkan peluru karet.
Layar gawai kita dipenuhi gambar pemuda dengan kepala berdarah, ibu-ibu terinjak dalam kerumunan, dan kabar duka tentang nyawa yang melayang sia-sia.
Seorang driver ojol Affan Kurniawan yang dilindas mobil apparat, para buruh, mahasiswa dan demonstran menghadapi gerakan reperseif dari aparat.
Ini bukan sekadar peristiwa biasa. Setiap tetes darah rakyat yang tumpah adalah alarm keras bahwa negara sedang salah langkah.
Aparat yang semestinya menjadi pelindung justru tampil sebagai algojo. Kekerasan yang terjadi tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga mencederai hati rakyat dan meruntuhkan legitimasi demokrasi yang selama ini kita banggakan.
Dalam situasi seperti ini, semua mata tertuju kepada satu sosok: Prabowo Subianto, presiden terpilih yang seharusnya memegang kendali penuh pemerintahan.
Artikel Terkait
Utang Rp 118 T dan Rugi Triliunan, Bom Waktu Keuangan Kereta Cepat Whoosh Ditagihkan ke Jokowi
Sandiaga Uno: Indonesia Butuh Wirausaha yang Inovatif, Adaptif, dan Kolaboratif
Kapuspen TNI Buka Suara Soal Viral Patwal PM Tabrak Lari: Sedang Ditelusuri
Ijazah Jokowi Diumbar, Demokrasi Indonesia Terluka: Sebuah Babak Baru yang Memprihatinkan