Perjalanan pendidikan Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan publik. Dalam sebuah diskusi, Prof. Sulfikar Amir, akademisi yang mengajar di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, memberikan penjelasan mendetail mengenai sistem pendidikan di Negeri Singa dan posisi pendidikan Gibran di dalamnya.
Singapura menerapkan sistem pendidikan berbasis kurikulum Inggris. Anak-anak menempuh 6 tahun primary school (setara SD), kemudian melanjutkan ke secondary school selama 4 tahun.
Di tahap akhir, siswa mengikuti ujian O-Level. Hasil dari ujian ini menentukan dua jalur:
- Junior College (A-Level), setara dengan SMA di Indonesia, yang menjadi pintu utama menuju universitas.
- Politeknik, setara dengan SMK, lebih berorientasi pada keterampilan kerja.
Prof. Fikar menegaskan bahwa lulus O-Level tidak setara dengan SMA. Untuk bisa diterima di universitas negeri seperti NTU atau NUS, syaratnya adalah lulus A-Level atau menyelesaikan pendidikan di Junior College.
“Kalau memakai standar Singapura, Gibran hanya menyelesaikan O-Level. Itu artinya tidak setara dengan SMA,” jelas Prof. Fikar pada akun YouTube Abraham Samad SPEAK UP, dikutip Jumat (3/10/2025).
Berdasarkan catatan yang ada, Wapres menyelesaikan pendidikan SD dan dua tahun SMP di Solo, lalu pindah ke Orchid Park Secondary School di Singapura.
Dengan demikian, ia hanya sampai pada jenjang O-Level, yang secara kesetaraan lebih mirip SMP plus kelas 1 SMA, bukan SMA penuh.
Setelah itu, Gibran sempat mengikuti program persiapan di UTS Insearch Australia, meski tidak jelas kelanjutannya, sebelum akhirnya melanjutkan kuliah di Management Development Institute of Singapore (MDIS).
Namun, MDIS bukan universitas negeri Singapura. Lembaga ini hanya menyelenggarakan kuliah dengan kurikulum universitas asing, seperti University of Bradford (Inggris).
Artinya, ijazah yang diperoleh mahasiswa bukanlah keluaran MDIS, melainkan universitas mitra yang bekerja sama.
Untuk memperjelas statusnya, Prof. Sulfikar menekankan bahwa MDIS tidak memiliki kewenangan akademik untuk menerbitkan ijazah sendiri, melainkan hanya menjadi perpanjangan tangan dari universitas mitra.
“Jadi mereka itu biasanya menyewa kurikulum dari universitas yang ada di Amerika atau di Inggris. Nah, MDIS ini itu bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Inggris sama di Amerika,” jelasnya
Lebih lanjut, ia menegaskan kembali bahwa ijazah lulusan MDIS sepenuhnya diterbitkan oleh universitas mitra, bukan oleh MDIS.
“Nah, nanti begitu kuliahnya selesai dan dianggap selesai, mereka mendapat ijazah dari universitas yang memiliki kurikulum itu. Jadi MDIS ini tidak memberikan ijazah. Tidak mengeluarkan ijazah,” tambahnya.
Sumber: suara
Foto: Prof. Sulfikar Amir, akademisi yang mengajar di Nanyang Technological University (NTU) Singapura. (tangkap layar Youtube)
Artikel Terkait
Cerita Haikal Santri Korban Ambruk Musala di Sidoarjo: Bertahan 3 Hari Terhimpit 2 Jenazah Temannya
Begini Penjelasan Mabes TNI Insiden Merah Putih Robek
Sidang Hak Angket Bupati Pati Ricuh, Pendukung Sudewo Adu Jotos dengan Massa AMPB
Ray Rangkuti: Reformasi Polri Harus Dimulai dari Copot Listyo