POLHUKAM.ID - Nama Gustika Fardani Jusuf Hatta menghentak panggung politik nasional dengan pernyataan yang jauh dari basa-basi.
Cucu proklamator Bung Hatta ini secara terbuka melontarkan kritik pedas yang menyebut Indonesia kini berada di bawah kepemimpinan seorang "presiden penculik" dan "wakil anak haram konstitusi".
Pernyataan berani ini sontak viral dan menjadi perbincangan hangat, terutama karena statusnya sebagai keturunan langsung salah satu pendiri bangsa.
Keberanian Gustika bukanlah tanpa alasan; rekam jejak pendidikan dan aktivismenya menunjukkan fondasi intelektual yang kuat di balik setiap kritiknya.
Pernyataan Menohok Usai Upacara di Istana
Kritik tajam dari Gustika muncul setelah ia menghadiri upacara peringatan HUT ke-80 RI di Istana Merdeka.
Melalui unggahan di media sosialnya, ia menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia saat ini.
"Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup. Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi," ungkap Gustika dalam unggahannya.
Pernyataan "presiden penculik" secara gamblang merujuk pada Presiden Prabowo Subianto dan isu-isu pelanggaran HAM masa lalu yang kerap dialamatkan kepadanya.
Sementara itu, frasa "anak haram konstitusi" ditujukan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang pencalonannya dimuluskan oleh putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi.
Protes Simbolik Melalui Busana Berkabung
Sebelum melontarkan kritik verbalnya, Gustika telah lebih dulu melakukan protes senyap melalui busana yang ia kenakan di Istana.
Ia hadir dengan kebaya hitam yang identik dengan busana yang ia pakai saat mengikuti Aksi Kamisan, sebuah aksi diam mingguan di depan Istana Negara untuk menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Pesan duka semakin dipertegas dengan pilihan kain batiknya.
Gustika mengenakan Batik Slobog, motif klasik asal Yogyakarta yang secara tradisional digunakan dalam suasana berkabung atau prosesi pemakaman.
Filosofi "Slobog" sendiri berasal dari kata Jawa yang berarti "longgar" atau "lapang", melambangkan doa agar arwah yang meninggal diberi jalan yang lapang.
Dengan mengenakan busana ini di hari kemerdekaan, Gustika seolah mengirim pesan simbolik bahwa ia sedang "berkabung" atas kondisi demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.
Intelektual Muda Lulusan Eropa
Keberanian Gustika untuk bersuara lantang ditopang oleh latar belakang pendidikannya yang impresif.
Ia merupakan lulusan Bachelor of Arts (Hons) War Studies dari King's College London, sebuah program studi yang mendalami sejarah militer, strategi, dan konflik global.
Selain itu, ia juga pernah menimba ilmu di Sciences Po Lyon, Prancis, dan saat ini tengah menempuh pendidikan master di Geneva Academy of International Humanitarian Law and Human Rights, dengan fokus pada hukum internasional dalam konflik bersenjata.
Pendidikan inilah yang membentuk kerangka berpikir kritisnya, terutama dalam isu-isu kekuasaan, HAM, dan demokrasi.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Ditanya Soal Niat Nyapres di 2029, Rocky Gerung Beri Jawaban Mengejutkan!
Heboh Pernyataan Cucu Bung Hatta: Kita Dipimpin Presiden Penculik, Wakilnya Anak Haram Konstitusi
Bukan Lewat MPR-DPR, Ini Cara yang Lebih Efisien Makzulkan Gibran dari Wapres
Ini Isi Buku Jokowi’s White Paper Karya Tifa CS yang Diduga Dibungkam