PSI Award: Prabowo Layak Menyandang Gelar Tokoh Dengan Kebohongan Terbanyak – Dari Pembohong Menjadi Panglima

- Senin, 21 Juli 2025 | 16:30 WIB
PSI Award: Prabowo Layak Menyandang Gelar Tokoh Dengan Kebohongan Terbanyak – Dari Pembohong Menjadi Panglima


Tapi tawa itu membawa beban politik yang berat: aib.


Kalimat itu bukan sekadar nostalgia. Ia adalah senjata. 


Prabowo sedang memainkan satu jurus klasik dalam politik: membuka aib lawan di ruang publik untuk melemahkan kredibilitasnya, bahkan dari dalam barisan sendiri. 


Dengan menyebut bahwa Grace Natalie dulu “hampir masuk Gerindra”, Prabowo sedang memosisikan Grace sebagai seorang politisi yang pernah ragu, pernah hampir berpaling, dan—dalam bahasa politik—pernah ingin “mengkhianati” partainya sendiri.


Dalam dunia politik, keinginan pindah partai bukan perkara sepele. Partai bukan sekadar organisasi, tapi wadah ideologi, solidaritas, dan identitas. 


Ketika seseorang berpikir untuk berpindah, apalagi dari satu kutub ke kutub yang lain, maka sesungguhnya ia sedang mempertaruhkan loyalitas dan kepercayaan publik. 


Di mata kader dan simpatisan PSI, ungkapan Prabowo itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketidaksetiaan Grace. 


Bukankah ia sekarang adalah simbol utama PSI? Bayangkan bila simbol itu ternyata pernah hampir menjadi bagian dari “musuh”.


Dalam politik Indonesia yang semakin pragmatis, perpindahan partai bukan hal asing. 


Namun yang membedakan adalah narasi. Siapa yang pertama membongkar, siapa yang mengendalikan cerita, dan siapa yang menjadi korban. 


Dalam hal ini, Prabowo tampaknya paham betul panggung mana yang paling strategis untuk memukul. 


Bukan di ruang sidang, bukan lewat media, tapi langsung dalam forum akbar partai—tempat di mana ia adalah tuan rumah, dan Grace adalah tamu yang tak bisa berkutik.


Pernyataan itu menjatuhkan Grace bukan hanya di hadapan lawan politik, tetapi juga di hadapan koalisi sendiri. 


PSI yang selama ini berupaya menampilkan diri sebagai partai muda, bersih, dan konsisten, kini harus berhadapan dengan narasi bahwa salah satu tokoh utamanya pernah hampir “berlabuh” ke partai lain. 


Bagi Prabowo, ini adalah cara halus tapi mematikan untuk menegaskan dominasi: bahwa dalam dunia politik, bahkan sekutu pun bisa ditampar, jika dirasa mulai membahayakan atau mencoba terlalu dekat dengan cahaya.


Lalu, apa motif Prabowo? Bisa jadi ini adalah sinyal bahwa PSI terlalu ingin mencuri panggung, atau bahwa Grace terlalu sering tampil seolah membawa moral tinggi dalam koalisi yang sedang dibentuk. 


Atau barangkali Prabowo hanya ingin mengingatkan bahwa di dunia politik, semua orang punya masa lalu, dan masa lalu itu bisa menjadi senjata kapan saja.


Prabowo telah menunjukkan satu hal: kekuasaan bukan hanya soal jabatan, tapi juga tentang siapa yang mengendalikan narasi. 


Dan dalam narasi itu, menjatuhkan lawan tak harus lewat konfrontasi keras, cukup dengan mengungkit satu momen pribadi di tengah keramaian. 


Maka, panggung politik bukan hanya soal siapa yang bicara lebih lantang, tapi siapa yang bicara dengan lebih strategis. Dan kali ini, Prabowo-lah yang menang. ***


👇



Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar