PSI Award: Prabowo Layak Menyandang Gelar 'Tokoh Dengan Kebohongan Terbanyak' – Dari Pembohong Menjadi Panglima
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pada tahun 2018, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meluncurkan sebuah acara bertajuk “PSI Awards: Penghargaan Kepalsuan”.
Dalam nuansa satir, acara tersebut dimaksudkan untuk mengkritik tokoh-tokoh publik yang dianggap kerap menyebarkan informasi menyesatkan atau kebohongan dalam ruang demokrasi.
Salah satu penerima “penghargaan” tersebut adalah Prabowo Subianto—saat itu merupakan Ketua Umum Partai Gerindra dan rival politik Joko Widodo dalam Pemilu 2019.
PSI menilai Prabowo layak menyandang gelar “Tokoh dengan Kebohongan Terbanyak” karena sejumlah pernyataan bombastis yang dinilai tidak akurat, salah satunya adalah klaim bahwa 99 persen rakyat Indonesia hidup dalam keadaan miskin.
Bagi PSI, pernyataan semacam itu tidak hanya keliru secara data, tetapi juga merupakan bentuk manipulasi emosi publik dengan narasi pesimistis.
Grace Natalie, Ketua Umum PSI waktu itu, secara terbuka menegaskan bahwa penghargaan itu adalah kritik terhadap gaya politik lama yang sarat kepalsuan dan retorika tanpa dasar.
Namun, waktu membalikkan segala sesuatu. Prabowo, yang pernah mereka cap sebagai pembohong, kini justru dielu-elukan sebagai tokoh yang didukung habis-habisan oleh PSI dalam Pilpres 2024.
Dan lebih ironisnya lagi, dalam sebuah pidato publik, Prabowo bahkan mengklaim bahwa Grace Natalie pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota Partai Gerindra.
Pernyataan itu sontak membuat publik tercekat. Betapa tidak: seorang pemimpin partai yang pernah secara frontal mengkritik Prabowo, kini disebut oleh Prabowo sendiri ingin bergabung dengannya.
Apakah ini tanda bahwa PSI telah kehilangan arah ideologisnya?
Atau, seperti yang diyakini sebagian kalangan, PSI hanya sedang mencari pelampung kekuasaan demi eksistensi politik di tengah persaingan yang brutal?
Apa pun jawabannya, narasi ini menunjukkan betapa cepat dan drastisnya transformasi politik bisa terjadi di Indonesia.
Prabowo, dari tokoh yang dijauhi oleh kalangan muda progresif, kini menjadi magnet bagi partai-partai yang dahulu menggambarnya sebagai ancaman demokrasi.
Sementara PSI, yang lahir dengan semangat anti-politik tua dan menjunjung politik bersih, kini berada dalam pelukan tokoh yang pernah mereka sebut “pembohong”.
Tentu, politik adalah seni kemungkinan. Tetapi ketika prinsip-prinsip dikorbankan atas nama strategi, maka yang tersisa hanyalah kemasan tanpa isi.
Demokrasi kita bisa kehilangan daya kritis jika partai-partai seperti PSI memilih untuk menelan kembali ludah mereka sendiri, demi sekadar mendapatkan tempat di meja kekuasaan.
Penghargaan kepada Prabowo sebagai “Pembohong” kini bukan hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga cermin bagi publik: bahwa dalam politik, seringkali tidak ada kebenaran abadi—hanya kepentingan yang berganti-ganti baju.
Cara Prabowo Menjatuhkan Grace Natalie: Aib di Tengah Panggung Politik!
Dalam sebuah pembukaan pidato politik yang ditunggu-tunggu, Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menyampaikan kalimat yang di permukaan tampak ringan, penuh canda, namun sesungguhnya adalah tamparan keras dan terencana.
Di hadapan peserta kongres partai, para petinggi politik, dan jutaan rakyat yang menonton lewat siaran televisi, Prabowo mengungkit peristiwa yang mungkin ingin dilupakan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie.
“Ingat nggak dulu telponan?” katanya sambil tertawa.
Artikel Terkait
Polisi Gerebek Pesta Gay di Surabaya, Ini Kronologi Lengkap yang Berawal dari Laporan Warga
Bocoran Dokumen hingga Pengacara! 4 Kesamaan Mengejutkan Proses Perceraian Andre Taulany dan Baim Wong
Sengkarut Utang Whoosh: Alasan Jokowi Tegaskan KCJB Bukan untuk Cari Untung
Satu Kembali, Sisanya Hilang: Daftar Lengkap Perhiasan yang Dicuri dari Louvre Paris