'Penyakit Itu Datang dari Kekuasaan yang Rakus'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Barangkali bagi Jokowi, baru sekarang ia menyadari bahwa sehat itu mahal.
Bukan mahal karena biaya rumah sakit atau harga obat yang naik-turun tak tentu arah.
Tapi mahal karena tidak semua orang yang memegang kuasa bisa tidur nyenyak dan bangun segar di pagi hari.
Apalagi kalau kuasa itu didapat dari hasil kawin silang antara kebohongan, pelanggaran konstitusi, dan korupsi berjamaah.
Penyakit kulit—ah, sebutlah begitu, yang menyerangnya itu—mungkin hanya seupil dari sekian deret penyakit yang mengintai tubuh yang dulu kerempeng, kini dibebani beban sejarah.
Kata orang, sakit kulit itu memalukan, karena tampak.
Tapi lebih memalukan lagi jika yang sakit bukan kulit, melainkan hati dan akal.
Itu tidak tampak, tapi baunya menyengat: seperti busuknya janji pada rakyat, atau apek konstitusi yang dilipat-lipat seenak udel sendiri.
Tentu saja, dokter akan mengatakan: penyakit itu datang dari makanan. Tapi kita tahu, makanan Jokowi tidak rakus-rakus amat.
a bukan tukang santap rendang lima porsi dalam sekali duduk. Tapi jangan salah.
Ada satu jenis makanan yang disantapnya rakus—tanpa jeda, tanpa sendok, tanpa malu: makanan kekuasaan.
Kekuasaan, ketika disajikan di atas meja istana, tampaknya memang lebih menggiurkan dari segala macam kuliner Nusantara.
Kekuasaan bikin kenyang, tapi bukan perut yang kenyang—melainkan ambisi.
Kekuasaan bikin mata melek, tapi bukan karena semangat, melainkan karena takut kehilangan jabatan.
Kekuasaan bikin gatal, bukan karena alergi, tapi karena terlalu banyak menyentuh hal-hal yang haram.
Dan di situlah letak perkara. Rakus akan kekuasaan membuat Jokowi harus menelan segala cara: menipu rakyat dengan pencitraan, membungkam lawan dengan hukum, memelihara KKN dalam petak-petak kekuasaan, dan menjadikan negeri ini panggung sandiwara demokrasi.
Barangkali, penyakitnya itu bukan hanya penyakit badan. Itu hanya indikator kecil dari sesuatu yang lebih besar: stres politik.
Bayangkan saja, betapa capeknya pura-pura adil, pura-pura netral, pura-pura membangun negara sambil menyelundupkan keluarga ke puncak kekuasaan.
Stres macam itu tak bisa disembuhkan dengan salep atau kapsul.
Ia hanya bisa reda kalau manusia kembali pada dirinya sendiri—tapi agaknya, jalan kembali itu sudah disesatkan sejak lama.
Jadi, barangkali benar: sakit itu datang bukan dari perut, tapi dari hati yang gelisah. Dari pikiran yang penuh kalkulasi, dari jiwa yang terlalu sering berdusta.
Dan ketika semua itu berkumpul dalam satu tubuh, maka bukan hanya kulit yang gatal—tapi juga sejarah yang akan menggaruk-garuk namanya dengan malu.
Begitulah. Kadang-kadang, tubuh itu jujur mewakili beban yang terlalu lama disangkal. ***
Artikel Terkait
Heboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya
Sudewo Makin Terjepit! 5 Fakta Terbaru Hak Angket Bupati Pati yang Bikin Geger Senayan
Polisi Tangkap Pembunuh Ibu Kandung di Wonogiri
Heboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tayang: Sabtu, 16 Agustus 2025 08:53 WIB Tribun XBaca tanpa iklan Editor: Valentino Verry zoom-inHeboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tribunjatim.com/Isya Anshari A-A+ INGIN DONOR ORGAN TUBUH - Yusa Cahyo Utomo, terdakwa pembunuh satu keluarga, divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (13/8/2025) siang. Yusa mengaku menyesali perbuatannya dan berkeinginan menyumbangkan organ tubuhnya kepada sang keponakan yang masih hidup, sebagai bentuk penebusan kesalahan. WARTAKOTALIVE.COM, KEDIRI - Jika seorang terdakwa dijatuhi vonis mati biasanya tertunduk lesu, ada pula yang menangis. Lain halnya dengan Yusa Cahyo Utomo, terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di Kediri, Jawa Timur. Tak ada penyesalan, bahkan dia sempat tersenyum kepada wartawan yang mewancarainya usai sidang vonis oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025). Dengan penuh percaya diri, Yusa Cahyo Utomo ingin mendonorkan organ tubuhnya usai dijatuhi vonis mati oleh majelis hakim. Baca juga: Alasan Pembunuh Satu Keluarga Tak Habisi Anak Bungsu, Mengaku Kasihan Saat Berusaha Bergerak Tentu ini cukup aneh, namun niat Yusa Cahyo Utomo ini ternyata ada makna yang besar. Donor organ tubuh adalah proses yang dilakukan untuk menyelamatkan atau memperbaiki hidup penerima organ yang mengalami kerusakan atau kegagalan fungsi organ. Biasanya, orang akan secara sukarela menyumbangkan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan. Saya berpesan, nanti di akhir hidup saya, bisa sedikit menebus kesalahan ini (membunuh) dengan menyumbangkan organ saya, ucapnya dilansir TribunJatim.com. Baca juga: Pelaku Pembunuhan Satu Keluarga di Kediri Ternyata Masih Saudara Sendiri, Ini Motfinya Kalau saya diberikan hukuman mati, saya siap menyumbangkan semua organ saya, apapun itu, imbuhnya. Yusa Cahyo Utomo merupakan warga Bangsongan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Kediri. Ia adalah seorang duda cerai dengan satu anak. Yusa merupakan pelaku pembunuhan terhadap satu keluarga di Dusun Gondang Legi, Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, pada Desember 2024. Yusa menghabisi nyawa pasangan suami istri (pasutri) Agus Komarudin (38) dan Kristina (34), beserta anak sulung, CAW (12). Anak bungsu korban, SPY (8), ditemukan selamat dalam kondisi luka serius. Yusa mengaku ia tak tega menghabisi nyawa SPY karena merasa kasihan. Tersangka meninggalkannya dalam kondisi bernapas. Alasannya dia merasa kasihan pada yang paling kecil, ungkap AKP Fauzy Pratama yang kala itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Kediri, masih dari TribunJatim.com. Hubungan Yusa dengan korban Kristina adalah kakak adik. Pelaku merupakan adik kandung korban. Namun, sejak kecil, Yusa diasuh oleh kerabat lainnya di Bangsongan, Kecamatan Kayen. Selama itu, Yusa tak pernah mengunjungi keluarganya yang ada di Pandantoyo, Kecamatan Ngancar. Dikutip dari Kompas.com, motif Yusa menghabisi Kristina dan keluarganya karena masalah utang dan rasa sakit hati. Yusa memiliki utang di sebuah koperasi di Kabupayen Lamongan sebanyak Rp12 juta dan kepada Kristina senilai Rp2 juta. Karena Yusa tak memiliki pekerjaan dan utangnya terus menumpuk, ia pun memutuskan bertemu Kristina untuk meminjam uang. Kristina menolak permintaan Yusa sebab sang adik belum melunasi utang sebanyak Rp2 juta kepadanya. Penolakan itu kemudian memicu rasa sakit hati bagi Yusa hingga merencanakan pembunuhan terhadap Kristina dan keluarganya. Buntut aksi kejamnya, Yusa tak hanya divonis mati, pihak keluarga juga enggan menerimanya kembali. Sepupu korban dan pelaku, Marsudi (28), mengungkapkan pihak keluarga tak akan menerima kepulangan Yusa. Keluarga sudah enggak mau menerima (jika pelaku pulang), ungkapnya. Kronologi Pembunuhan Rencana pembunuhan oleh Yusa Cahyo Utomo terhadap Kristina dan keluarganya berawal dari penolakan korban meminjami uang kepada pelaku, Minggu (1/12/2024). Sakit hati permintaannya ditolak, Yusa kembali ke rumah Kristina pada Rabu (4/12/2024) dini hari pukul 3.00 WIB. Ia menyelinap ke dapur di bagian belakang rumah dan menunggu Kristina keluar. Saat Kristina keluar, Yusa lantas menghabisi nyawa kakak kandungnya itu menggunakan palu. Suami Kristina, Agus, mendengar suara teriakan sang istri dan keluar untuk mengecek. Nahas, Agus juga dibunuh oleh Yusa. Aksi Yusa berlanjut dengan menyerang anak Kristina, CAW dan SPY. Namun, ia membiarkan SPY tetap hidup sebab merasa kasihan. Usai melancarkan aksinya, Yusa membawa barang berharga milik korban, termasuk mobil dan beberapa telepon genggam. Ia kemudian kabur ke Lamongan dan berhasil ditangkap pada Kamis (5/12/2025). Atas perbuatannya, Yusa dijatuhi vonis mati buntut pembunuhan berencana terhadap Kristina dan keluarga. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yusa Cahyo Utomo dengan hukuman mati, kata Ketua Majelis Hakim, Dwiyantoro dalam sidang putusan yang berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025), pukul 12.30 WIB, masih dikutip dari TribunJatim.com.