“Jangan-jangan satu sama lain akan saling berhadap-hadapan dan saling berkompetisi,” ungkap Adi.
Analis politik ini juga menyoroti fenomena unik dalam konsumsi berita politik Indonesia.
Ketika Gibran menunjukkan keakraban dengan para menteri, hal itu dianggap biasa saja karena memang sudah seharusnya demikian.
Sebaliknya, potongan video yang menunjukkan ketegangan justru viral dan memicu spekulasi luas.
“Di Indonesia, bad news is good news. Informasi buruk bisa menjadi viral dan dianggap sebagai informasi yang menarik,” kata Adi.
"Yang disukai publik adalah drama politik, bukan keharmonisan.”
Fenomena ini, lanjutnya, mencerminkan bagaimana media sosial dan diskursus digital sangat mempengaruhi sikap politik dan penilaian publik terhadap fenomena politik.
Video kontroversial ini juga mengangkat isu lebih besar tentang bagaimana politik citra kini mendominasi diskursus politik Indonesia.
Alih-alih membahas kebijakan dan kinerja pemerintahan, publik justru terjebak dalam perdebatan soal gesture dan simbolisme politik.
“Minimal gestur tubuh yang ditampilkan ke publik harus saling menghormati dan menunjukkan sikap harmonis, meski di belakang layar mungkin ada kompetisi,” ungkap Adi.
“Itulah esensi politik Indonesia—boleh bersaing, tapi di depan publik harus menunjukkan kerukunan.”
Namun, kritikus menilai pendekatan ini justru menutupi substansi masalah yang sesungguhnya dalam internal koalisi pemerintah.
Meski sudah ada “klarifikasi” melalui media sosial, pengamat politik menilai insiden ini mencerminkan rapuhnya kohesi internal koalisi Merah Putih.
Ketegangan antara Gibran sebagai wakil presiden dengan para menteri yang juga ketua umum partai besar menunjukkan adanya kontestasi kekuasaan yang mulai menguat menjelang Pilpres 2029.
“Tidak nyaman dan tidak elok dipandang mata jika wakil presiden dengan para menteri—yang notabene tokoh senior dan ketua umum partai dekat istana—mempertontonkan ketidakharmonisan,” kata Adi.
Pertanyaannya kini adalah: akankah video “klarifikasi” ini cukup untuk meredakan spekulasi politik, atau justru semakin mengonfirmasi adanya masalah internal yang coba ditutupi?
Yang jelas, dalam era media sosial ini, politik citra dan manajemen persepsi publik menjadi sama pentingnya—jika tidak lebih penting—dari substansi kebijakan itu sendiri.
Sumber: JakartaSatu
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara