Semprot Pihak Sebut Jokowi Bapak Demokrasi, Rocky Gerung: Jokowi Itu Perusak Demokrasi!

- Jumat, 22 Agustus 2025 | 14:50 WIB
Semprot Pihak Sebut Jokowi Bapak Demokrasi, Rocky Gerung: Jokowi Itu Perusak Demokrasi!




POLHUKAM.ID - Pengamat Politik, Rocky Gerung menepis statement soal Presiden ke – 7 RI, Joko Widodo (Jokowi) yang disebut sebagai Bapak Demokrasi.


Menurutnya, Jokowi hadir dan menjabat sebagai Presiden dalam posisi Indonesia sudah demokrasi.


Sehingga bukan Jokowi, dan Presiden Indonesia lainnya yang membuat demokrasi. Rocky menyebut rakyatlah yang membuat demokrasi.


“Orang akan bilang selama Presiden Jokowi, demokrasi dipelihara. Bahkan Jokowi dianggap bapak demokrasi,” ujar Rocky, dikutip dari youtubenya, Kamis (21/8/25).


“Kalau kita usut sebenarnya, Presiden Jokowi datang ketika Indonesia sudah demokrasi. Demokrasi kita ada sejak 98, siapa yang bikin? Bukan Jokowi, bukan SBY, bukan Megawati, mahasiswa yang bikin itu,” tambahnya.


Rocky mengatakan bahwa Jokowi tidak mungkin membangun demokrasi, melainkan justru merusak demokrasi.


Rocky menyebut Jokowi sebagai orang yang merusak demokrasi lantaran menyodorkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden.


“Jadi Pak Jokowi datang ketika Indonesia sudah demokrasi. Jadi enggak mungkin dia bangun demokrasi,” ucapnya.


“Bahkan dia yang merusak demokrasi melalui problem di Mahkamah Konstitusi, dengan mengajukan anak kecil menjadi wakil presiden,” sambungnya.


Rocky kemudian menyentil Jokowi bahwa dirinya bukan melanggar Undang – Undang Dasar, melainkan Undang – Undang Perlindungan Anak.


“Tapi apakah Presiden Jokowi melanggar konstitusi dengan memajukan anak kecil jadi wakil presiden? Tidak, dia tidak melanggar Undang – Undang Dasar, dia melanggar Undang – Undang Perlindungan anak,” ujarnya.


“Karena anak kecil mestinya tinggal di rumah, enggak boleh ikut sidang kabinet,” sambungnya dengan nada mengejek.


Penyimpangan yang dilakukan Jokowi


Sementara itu Guru Besar Psikologi UGM, Koentjoro sempat menyesalkan berbagai pelanggaran yang justru terjadi di masa Pemerintahan Presiden Jokowi.


Berbagai penyimpangan yang dimaksud, yaitu pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam kegiatan demokrasi, dan pernyataan kontradiktif dari presiden terkait akan keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik, serta persoalan netralitas dan keberpihakan.


Termasuk di dalamnya masalah penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dipolitisasi.


Tak hanya itu, Jokowi juga diduga terlibat dalam praktik korupsi, kedua putra sang presiden juga pernah dikaitkan dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta Kolusi dan Nepotisme (KKN).


Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menutup kasus TPPU yang melibatkan Gibran dan Kaesang dengan alasan laporan tidak jelas.


Untuk diketahui, Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun yang melaporkan Gibran dan Kaesang ke KPK pada pertengahan Januari 2022.


Pelanggaran konstitusi di era rezim Jokowi juga masih banyak seperti penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19).


Beberapa pasal di dalamnya bertentangan dengan konstitusi Muatan yang dianggap berpotensi melanggar konstitusi RI terdapat pada Pasal 12, 27, dan 28.


Kebijakan ekonomi di era rezim Jokowi juga tak sesuai konstitusi, karena mengarah pada kapitalisme dan liberalisme.


Misalnya, investasi asing yang semakin digencarkan.


Kemudian, penerapan harga bahan bakar minyak sesuai dengan harga pasar.


Padahal, Mahkamah Konstitusi sendiri telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.


Kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang digeserkan pada persahabatan dominan dengan Republik Rakyat China.


Akibatnya, TKA China membanjiri negeri ini. Hal ini tentu bertentangan dengan makna Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dan keempat.


Kemudian, keinginan pindah ibukota dan pengendalian hukum melalui Omnibus Law tanpa mengindahkan aspirasi rakyat adalah pelanggaran atas asas kedaulatan rakyat dan negara hukum yang dimaksud oleh pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1955.


Sumber: Suara

Komentar